Model Transition Toward Democracy, dimana suatu negra memiliki satu kondisi backround - persatuan nasional - yang harus dimiliki. Untuk dan melakukan transisi menuju demokrasi. Di mana mayoritas warga negara harus "tidak ada keraguan atau mental yang sebagai komunitas politik milik mereka" (Rustow 1970:350).
Sebelum menuju proses transisi Persatuan nasional harus diutamakan. Dari berbagai kelompok, etnis yang ada di sebuah Negara. Pertanyaan-pertanyaan tentang Negara demokratis, yang harus diselesaikan sebelum nantinya memasuki era transisi ke arah demokrasi yang layak.
Fase persiapan yang pertama dan terutama berisi apa yang disebut Rustow berkepanjangan dan tidak meyakinkan strungle politik. Individu, kelompok, dan kelas penguasa nondemocratic yang menantang. Demokrasi mungkin bukan tujuan utama mereka, melainkan dapat menjadi sarana untuk mengakhiri lain atau produk sampingan dari kekuatan ujung lain, seperti masyarakat yang lebih setara dengan distribusi kekayaan yang lebih baik.
Komposisi dari kelompok-kelompok di balik tantangan untuk penguasa bervariasi dari satu negara ke negara lain dan lebih dari periode waktu. Fase keputusan berisi keputusan yang disengaja pada bagian dari pemimpin politik untuk melembagakan beberapa aspek penting prosedur demokratis "(Rustow 1970: 355).
Di Indonesia Fase demokratisasi yang dimulai sejak era 1998, Orde Reformasi mulai dikibarkan setelah 32 tahun Indonesia berada dalam rezim orde baru, yang otoriter. Dalam Tulisan Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia, Rita Olivia Tambunan menyebutnya Proses Demokrasi Prosedural, Gerakan demokrasi di Indonesia pasca 1998 mengalami pasang surut.
Pertengahan tahun 1998,ketika gerakan mahasiswa mempelopori lahirnya gerakan reformasi dengan menurunkan Soeharto, seolah ada ‘darah’ baru untuk merevitalisasi konsep-konsep demokrasi yang pernahmenjadi barang haram pada masa rejim diktator Orde Baru. Pasca tahun 1998, para aktor prodemokrasi–secara sendiri maupun bersama– lebih memiliki peluang untuk melakukan berbagai aktivitas memajukan gerakan demokrasi di Indonesia. Ini adalah sebuah ‘kemewahan’ yang tersedia setelah lebih dari 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru, para aktor pro-demokrasi mengalami berbagai ancaman –fisik maupun psikis– untuk berkegiatan.
Fase pertama era Demokratisasi di Di Indonesia di mulai. Rakyat sudah jenuh dengan gaya kepemimpinan otoriter, orde baru. Kesepakatan rakyat dilakukan dengan kekuatan aksi massa yang besar di setiap kota besar, dengan aksi demontrasi besar-besaran yang tergabung dari berbagai macam aliansi, rakyat. Seperti Petani, Pelayan, Buruh Pabrik, Profesional, Pengusaha, mahasiswa dan akademisi. Puncaknya desakan kepada DPR dan MPR dengan cara menduduki gedung yang terhormat itu. 12 tahun sudah reformasi dilakukan, nampaknya Indonesia masih harus belajar berdemokrasi dan mengembangkannya karena tujuan reformasi belum selesai.
Georg Sorensen dalam tulisan Democracy and Democractization, dalam Handbook of Politics State and Society in Global Perspective, menuliskan. Transisi ini disebut sebagai “gelombang ketiga” ekspansi kea rah demokratis (Samuel Hulington 1991) ; gelombang awal di mulai abad kesembilanbelas, awal abad keduapuluh dan setelah Perang Dunia II. Meeka membawa optimism liberal besar , termasuk klaim bahwa manusia telah mencapai “Akhir Sejarah” (Fukuyama 1989).
Saat itu tidak ada lagi ideologi yang signifikan rezim demokrasi liberal tidak ada saingan lagi. Para ahli berspekulasi bahwa gelombang ketiga demokratisasi telah berakhir (Diamond 1996); mereka ada benarnya. Di beberapa Negara, telah ada berbalik kea rah kekuasaan otoriter. Selain itu sebagian dari Negara-negara transisi yang belum demokrasi penush, dalam fase pembukaan demokrasi atau ketika teleh memasuki situasi demokratis “berhenti”. Secara tidak langsung transisi dari otoritarianisme.
Anis Bawesdan,dalam tulisannya di Artikelnya di Harian Umum Kompas, menjelaskan bahwa Demokratisasi di Indonesia berjalan dengan relatif baik. Dalam waktu 10 tahun terjadi transformasi besar-besaran di sebuah bangsa dengan penduduk 240 juta dan membentang ribuan kilometer di khatulistiwa. Transformasi dari politik otoriter ke demokratis dan dari pemerintahan sentralistis ke desentralistis merupakan prestasi yang mencengangkan dunia.
Proses transformasi ini berjalan jauh dari sempurna dan terencana. Ada deretan masalah yang masih harus diselesaikan. Akan tetapi, harus diakui, hanya sedikit bangsa yang memiliki stamina untuk menjalankan transformasi serumit ini. Dalam situasi seperti ini diperlukan kesadaran kolektif untuk berpikir dan mengelola perubahan dalam perspektif jangka panjang.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara. Istilah ini berasal dari dua kata Yunani. Demo (orang) dan Kartos (Pemerintahan). Ini kedengarannya sederhana, tetapi tidak, karena hal itu menimbulkan banyak pertanyaan sulit (Held, 2006), misalnya : Orang-orang ? Masyarakat macam apa yang harus tunduk kepada aturan demokratis ? Tradisi liberal yang dominan mengandung ketegangan dalam refleksi pertanyaan ini yaitu menyagkut liberalism, tidak hanya dasar-dasar demokras kekuasan Negara, tetapi juga menetapkan batas-batas tajam kekuasan Negara.
Negara Liberal perjuangannya untuk membagai pola kekuasaan dan penciptaan hubungan sosial masyarakat sipil, termasuk usaha pihak swasta, lembaga-lembaga kemasyarakatan, keluaraga, dan kehidupan pribadi, bisa berkembagng tanpa campur tangan Negara. Elemn pentung dalam hal ini adalah dukungan dari ekonomi pasar berdasarkan rasa hormat terhadap hak milik pribadi.
Tradisi yang menjadi liberal demokrasi (dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan Negara atas masyarakat sipil) dan kebijakan demokratis (bertujuan untuk menciptakan struktur yang aman dan terstruktur dan popular bagi pemegang mandate kekuasaan Negara).
Beberapa kaum liberal awal sudah keberatan tentang demokrasi, takut bahwa hal itu akan menghalangi pembentukan masyarakat liberal (Therbon 1977). Perkembangan pemikiran demokrasi liberal berkembang menuju kompleks pengaturan hubungan (antara unsure-unsur teori ini. Dalam perdebatan mengenai hubungan antara kapitalisme dan demokrasi, tradisi liberalis hanya menyatakan bahwa system kapitalis dapat memberikan dasar yang diperlukan bagi kebebasan dan demokrasi.
Menurut Coen Pontoh, dikutip Rita Olivia Tambunan, Model transisi demokrasi, Indonesia saat ini adalah sebuah model yang berlaku di mana-mana di dunia yaitu modernization via internationalitation. Model transisi demokrasi ini memang lebih mengutamakan demokratisasi prosedural dan pro-pasar bebas; memperalat masyarakat sipil untuk terus mengingatkan bahwa peran Negara hanyalah pada persoalan politik dan tidak boleh mengintervensi ruang ekonomi yang harus diserahkan pada pasar.
Coen Pontoh menyatakan bahwa gerakan pro-demokrasi di Indonesia harus melawan perkembangan ini dengan melakukan demokratisasi yang menentang berlakunya neo-liberalisme (democratisation against neo-liberalism). Belajar dari pengalaman demokrasi di Rusia, Coen menyatakan tidak ada bukti faktual bahwa pemberlakuan nasionalisme ekonomi menyebabkan kebangkrutan ekonomi suatu negara, justru pemberlakuan neo-liberalismelah yang menyebabkan kebangkrutan ekonomi negara.
Satu-satunya kekuatan yang bisa menahan lajur neo-liberalisme adalah Negara. Dengan memberlakukan nasionalisme ekonomi, negara akan mampu berbicara lebih tentang peningkatan anggaran untuk kepentingan publik (kesehatan, pendidikan, subsidi kebutuhan pokok). Gagasan nasionalisme ekonomi adalah gagasan yang harus dikerjakan di dua arah secara bersamaan: demokratisasi dari bawah dan transformasi dari atas (democratisationfrom below and transformation from above). “Tidak boleh memberikan cek kosong kepada Pemerintah begitu saja.” Artinya rakyat harus memiliki ruang bebas untuk ikut menentukan arah kebijakan politik.
Hsail Riset DEMOS, yang dilakukan di 29 Propinsi terdapat 10 besar terbaik kinerja perbaikan kualitas dan istitusi demokrasi, di antaranya adalah di urutan pertama, kebebasan berbicara, berserikat, dan berorganisasi mencapai 18,6 persen. Di urutan kedua, Jaminan bagi Pers, seniman dan akademisi untuk bebas tanpa ancaman dan intimidasi menyuarakan kritik terhadap pemerintah/pihak-pihak yang berpengaruh 14,6 persen.
Di urutan ketiga Kebebasan membentuk partai, merekrut anggota, dan mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki kekuasaan pemerintah 11,0 persen. Urutan keeempat, Partisipasi warga Negara dalam organisasi-organisasi independent, kelompok-kelompok kewargaan, gerakan sosial, dan serikat buruh 10,5 persen. Di urutan kelima Kebebasan beragama, menggunakan bahasa, dan melestarikan kebudayaan 8,5 persen. Urutan keenam Kebebasan untuk mendirikan serikat buruh 5,4 persen.
Urutan ketujuh Akses yang luas kepada media, unit kebudayaan, dan universitas untuk mendapatkan persfektip yang berbeda 5,0 persen. Di urutan ke-delapan Kesetaraan dan emansipasi jender 4,3 persen. Di urutan kesembilan, Transparansi, akuntabilitas, dan demokratis tidaknya organisasi-organisasi masyarakat sipil 3,4 persen, dan urutan kesepuluh adalah penyelenggaraan pemilu yang bebas dan jujur serta mekanisme pemilihan transparan 3,0 persen.
Catatan ; Pada riset putaran pertama ini, DEMOS mengidentifikasi 35 jenis hak dan institusi yang dianggap penting untuk memajukan tujuan-tujuan demokrasi, yaitu kontrol rakyat atas masalah-masalah publik atas dasar persamaan kedudukan politik. Ke-35 hak dan institusi demokrasi yang dapat digolongkan dalam 3 kategori besar yaitu :
(1) Kewarganegaraan, hukum, dan hak-hak;
(2) Pemerintahan yang representatif dan akuntabel; dan
(3) Masyarakat sipil yang berorientasi demokratis.
Hak-hak demokrasi adalah yang menyangkut kebebasan atau jasa dimana individu atau kelompok diandaikan dijamin untuk mendapatkannya. Sedangkan institusi-institusi demokrasi secara umum dapat didefinisikan sebagai ‘aturan permainan’ (rules of the game). Institusi demokrasi formal misalnya dalam bentuk hukum dan perundang-undangan. Institusi demokrasi bisa juga diakui secara informal dalam bentuk ‘aturan perilaku’ (rules of conduct), misalnya partai politik haruslah mencerminkan pandangan dan kepentingan anggotanya.
10 Besar Demokrasi yang buruk kinerjanya yaitu, urutan pertama, kepatuhan pemerintah dan pejabat pemerintah terhadap hokum mencapai 10,5 persen, selanjutnya Keadilan untuk semua dan independensi lembaga peradilan mencapai 10,2 persen. Ketiga Independesi partai-partai dari politik uang dan kekuasaan 9,1 persen, keempat Independensi kekuasaan pemerintah dan perlawanan terhadap berbagai bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan 6,8 persen, Kelima Pertanggungjawaban kekuasaan militer dan kepolisian pada pemerintah sipil terpilih dan kepada public 6,6 persen.
Keenam Hak bekerja/berusaha dan memperoleh jaminan sosial serta terpenuhinya kebutuhan dasar termasuk kesehatan 5,5 persen. Kedelapan Sikap partai-partai terhadap isu-isu dan kepentingan vital di masyarakat 4,8 persen kesembilan Keterbukaaan dan akuntabilitas pemerintah terpilih di tingkat pusat dan daerah 3,6 persen. Aksebilitas wakil-wakil terpilih terhadap para konstituennya dan petugas pelayan public pada masyarakat yang dilayani 3,6 persen.
Dapat disimpuolkan bahwa keleluasan untuk berkegiatan tidak diimbangi dengan kinerja yang baik instrument-instrumen demokrasi yang ada. Nampak ada hasil kerja yang tak seimbang ketika jaminan kebebasan, utamanya yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, makin baik sementara instrument demokrasi yang ada menunjukan kinerja yang memburuk.
Coen Husein Pontoh, Sekretaris Jenderal PDS (Perhimpunan Demokratik Sosialis), menganalisa situasi ini sebagai akibat dari transisi demokrasi yang hanya diarahkan pada sebuah proses ndemokrasi prosedural semata. Menurutnya, sebagian besar aktor pro-demokrasi yang ada meluangkan banyak energi pada proses pelembagaan demokrasi, bukan pada isi/substansi daridemokrasi.
Sebagai contoh, Coen menyebutkan adanya berbagai bentuk kebijakan Negara yang mengakomodasi pembentukan institusi-institusi masyarakat sipil (ornop, kelompok-kelompokperempuan) atau pun upaya untuk mereformasinya institusi seperti Mahkamah Agung, DPR RI, dan pembentukan Komisi-komisi tertentu seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara (KPKN).
Sayangnya, tidak ada perhatian serius tentang siapa yang berhak untuk mengisi institusi-institusi demokrasi tersebut. Subyek yang dihasilkan adalah figur pemimpin yang tidak populer; tidak berasal dari dan tidak menyuarakan kepentingan
rakyat. Akibatnya, keputusan-keputusan politiknya pun tidak populis dan terus-menerus diganggu oleh berbagai protes rakyat.
Coen menyatakan bahwa model transisi demokrasi yang mementingkan pembangunan prosedural demokrasi seperti ini sebenarnya lahir dari mereka yang pro-pasar bebas. Pada satu sisi ada pengakuan dan penghormatan atas hak-hak sipil dan politik, tetapi di sisi lain amatmendukung pemberlakuan pasar bebas yang abai pada isu hak-hak ekonomi-sosial-budaya (yang pada tataran tertentu memang selalu menjadi penghalang utama berlakunya pasar bebas).
Pemimpin yang lahir dari situasi seperti ini adalah mereka yang lahir dari kekuataan oligarkhi modal yang amat bersandar pada kekuatan militer untuk menjaga agar program-program politiknya yang tidak populis bisa tetap berjalan. Itulah situasi Indonesia kini yang mengambil jalur demokrasi prosedural melahirkan situasi dimana ;
(1) mengutamakan pembangunan institusi demokrasi,
(2) pasar bebas semakin menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan politik negara, (3) penghancuran kekuatan rakyat dengan terus memelihara suara massa mengambang, dan
(4) militerisme yang terus berkesempatan bercokol dalam ruang politik. Ironisnya, menurut Coen, kebanyakan aktor pro-demokrasi saat ini justru menganggap bahwa situasi sekarang sudah baik dan kalaupun demokrasi belum ideal ini hanyalah sebagai fase awal dari demokratisasi.
Georg Sorensen dalam tulisan Democracy and Democractization, dalam Handbook of Politics State and Society in Global Perspective, menuliskan. Dalam hal ini, Robert Dahl: menyarankan konsep demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memenuhi kondisi berikut:
Yang bermakna dan ekstensif kompetisi di antara individu dan kelompok yang terorganisir (khususnya partai politik).
Kekuatan politik. Sangat inklusif tingkat partisipasi politik seseorang dalam pemilihan pemimpin dan partai politik, setidaknya melalui kesetaraan dan adil, sehingga lebih (dewasa) adalah kelompok sosial dikecualikan. Suatu tingkat kebebasan sipil dan politik - kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan untuk dari dan bergabung dengan organisasi - cukup untuk menjamin integritas kompetisi politik partisipasi anda (Dahl, 1989; lihat Diamond et al. 1988; Tilly 2007).
Sumber Bacaan :
1.Georg Sorensen dalam tulisan,
Democracy and Democractization, dalam Handbook of Politics State and Society
in Global Perspective.
2.Anis Bawesdan, Harian KOMPAS, www.unisosdem.org
3.Rita Olivia Tambunan, Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia,
Penelitian DEMOS
1 komentar:
www.cahyasunandar.co.cc
Posting Komentar