Selasa, 13 April 2010

FILSAFAT DUA

Jika ada sebuah komentar : “Untuk studi pada jenjang magister dan doktor yang penting adalah memahami sedetail mungkin bidang ilmu yang kongkrit ditekuninya, bukan memahami filsafat yang lebih abstrak”.

Saya berpendapat, bahwa Filsafat harus di fahami juga oleh mahasiswa program magister dan doktor. Kenapa, kita sebagai manusia menuntut ilmu bukan untuk gaya-gayaan atau gengsi, mengejar prestise namun untuk lebih mengembangkan diri dan bermanfat untuk diri sendiri kemudian untuk orang lain. Dengan mempelajari Filsafat kita berharap lebih bijaksana dalam bertindak. Berpikir lebih jernih untuk melangkah maju menapak hari demi hari. Apalagi sebagai umat manusia dalam perkembangan jaman saat ini, harus dibarengi dengan pijakan filsafat yang mumpuni. Mengetahui landasan munculnya ilmu pengetahuan.
Karena dalam Filsafat seperti ditulis oleh Prof. Dr. Engkus Kuswarno, M.S. dalam bukunya yang berjudul Fenomenologi (29 : 2009), bahwa pada umumnya pembahasan Filosofis selalu melibatkan empat bidang inti, yakni ontology, epsitomologi, etika, dan logika. Keempat bidang inilah yang menjadi dasar bagi semua ilmu pengetahuan.
Menurut Socrates dan Plato, filsafat dimulai dari etika, sedangkan menurut Aristoteles filsafat dimualai dari metafisika atau ontologi. Descrates menempatkan epistomologi sebagai bidang filsafat yang utama, seperti halnya Russel yang menempatkan logika sebagai bidang filsafat yang utama. Pada sisi lain, Husseri beranggapan bahwa fenomenologi-lah yang menjadi inti dari filsafat, Husseri beranggapan bahwa fenomenologi-lah yang menjadi inti dari filsafat. Husseri adalah filsuf pertama yang memasukan fenomenologi sebagai bidang inti filsafat selain yang empat tadi.
Sedangkan Filsapat seperti di tulis oleh Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul Filsapat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (19 : 2007), Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri : Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu ? Apakah cirri-cirinya yang hakiki ang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu ? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ? Kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah ? Mengapa kita mesti mempelajari ilmu ? Apakah kegunaan yang sebenarnya ?
Demikian juga berfilsafat berarti terendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui : Apakah ilmu mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya saya ketahui dalam kehidupan ini ? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti ? Kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini ? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu ? (Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu).

Sumber Bacaan
Koeswarno, Engkus, Fenomenologi, Widya Padjajaran, Bandung, 2009
Suriasumantri, Jujun S, Filsapat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2009

Tidak ada komentar: