Dalam memandang sebuah realitas. Jika diperlukan, berikan contoh-contoh kongkritnya dalam ilmu masing-masing. Berikan penjelasan secara lengkap mengenai tiga paradigma ontologism (world view) dalam memandang sebuah realitas. Jika diperlukan, berikan contoh-contoh kongkritnya dalam ilmu masing-masing ?
Paradigma Ilmu Komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) dalam Buku Sosiologi Komunikasi karya Burhan Bungin (2009), yang mengacu pada pemikiran Guba (1990 : 1994) ada (3) paradigma :
(1) paradigma klasik (classical paradigm) ;
(2) paradigma kritis (critical paradigm) ; dan
(3) paradigma konstruktivisme (contructivism paradigm).
Menurut Sendjaja (2005) dalam Burhan Bungin, paradigm klasik (gabungan dari paradigm ‘positivism’ dan post-positivism menurut Guba), menurut Dedy N Hidayat (1999), bersifat ‘interventionist’ yakni melakukan pengujian hipotesis dalam struktur hypotthecito-deductive method, melalui laboratorium, eksperimen, atau survey ekplanatif dengan analisis kuantitatif. Dengan demikian objektivitas, validitas, dan realibilitas diutamakan dalam paradigma ini.
Paradigma kritis lebih berorientasi ‘particivative’ dalam arti menggunakan analisis konverhensif, konstekstual, dan multilevel analisis, sedangkan paradigm konsruktivisme, bersifat reflektif da dialektikal. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi partisivasi (participant observation).
Menurut Prof Engkus Koeswarno, Perbedaan Ontologis ;
Paradigma Klasik, Critical Realism: Realitas “nyata” diatur oleh kaidah yang berlaku universal, walaupun kebenaran diperoleh secara probalistik.
Paradigma Konstruktivis, Relativism : Reaalitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran realitas bersifat relative, berlaku konteks sfesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
Paradigma Kritis, Historical realism : Realitas “semu” (virtual reality) yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi, dsb.
Menurut Prof. Dr. Engkus Koeswarno dalam bukunya Fenomenologi (36 : 2009) Menetapkan metodologi sama artinya dengan mendeskripsikan paradigma atau cara pandang terhadap realitas. Berkaitan dengan hal ini, bagaimana sebenarnya posisi metodologi fenomenologi ? pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan paradigma penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya.
Berikut ini perlu diuraikan sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif :
(1) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia.
(2) Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada perbagian yang membentuk keseluruhan itu.
(3) Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari ukuran-ukuran dari realitas.
(4) Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama, melalui wawancara formal dan informal.
(5) Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah untuk memehami perlikau manusia.
(6) Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan komitmen pribadi dari peneliti.
Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut, akan sejalan dengan ciri-ciri penelitian fenomenologi berikut ini :
(1) Fokus pada sesuatu yang Nampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas, dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
(2) Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati entitas dari berbagai sudut pandang dan persfektif, sampai didapat pendangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati.
(3) Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan, dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki.
(4) Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat dekat dengan kelamiahan (tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna dibaliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap. Dengan kata lain sama “hidup” –nya antara yang tampak dalam kesadaran dengan yang terlihat oleh panca indera.
(5) Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian peneliti fenomenologi akan sangat dekat dengan fenomena yang diamati. Analoginya peneliti itu menjadi salah satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.
(6) Integritas dari subjek dan objek. Persepsi peneliti akan sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya. Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek, dan subjek menjadi objek.
(7) Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas adalah salah satu bagian dari proses secara keseluruhan.
(8) Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi, dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah.
(9) Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Setiap kata harus dipilih, di mana kata yang terpilih adalah kata yang aling utama, sehingga dapat menunjukan makana yang utama pula. Dengan demikian, jelaslah bahwa bahwa fenomenologi sangat relevan menggunakan peneliti kualitatif ketimbang penelitian kuantitatif, dalam mengungkapkan realitas.
Catatan
Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2009
Koeswarno, Engkus, Fenomenologi, Widya Padjajaran, Bandung, 2009
1 komentar:
mantap bos..
Posting Komentar