Kebijakan
Sistem Komunikasi di Indonesia, Regulasi dan Implementasi
Konglomerasi Media,
Regulasi di Indonesia
Konglomerasi Media di
Indonesia sudah tidak bisa dipungkuri lagi, secara nyata bos-bos di dunia usaha
menguasai industri media, yang merupakan industri baru di Indonesia. Terjadi
sangat cepat perkembangan bisnis media ini sehingga sudah tidak mudah lagi
dikontrol lagi dalam percaturan persaingannya. Tidak hanya terjadi persaingan
bisnis dalam negeri namun juga jaringan bisnis media internasional yang mulai
memasuki wilayah media nasional.
Sejak terjadinya Reformasi 1998, terjadi euphoria besar-besaran dalam
bisnis media massa, baik cetak maupun elektronik. Namun hal ini berdampak buruk, pada
perkembangan media di Indonesia. Media hanya dijadikan sebagai alat untuk
mencari keuntungan sesaat. Media baru bermunculan dari yang sangat kecil dalam
segi perusahaan maupun redaksi, menengah hingga besar. Namun faktanya banyak
yang berguguran, sebelum berkembang. Data Dewan pers tahun 2006 yang
menyebutkan bahwa dari 851 media yang terbit di Indonesia, terdiri
dari 284 surat kabar harian, 327 surat kabar mingguan, 237 majalah,
3 buletin, hanya sekitar 30% yang sehat. 1
Bisnis media cetak dikelola secara
tidak professional. Bahkan bisa dikatakan bahwa industri media bejalan tidak
sehat. Dengan banyakanya media yang gulung tikar. Dalam hal ini terbit hanya
beberapa edisi saja, seperti tabloid mingguan misalnya. Tahun 2001, sebuah ilustrasi
kongrit. Penulis pernah bekerja di media baru di yang bernama Moderator, media
tersebut berkantor di Jakarta Utara, tepatnya di Jalan Siaga – Tanjung Priok.
Ironis sekali, karena hanya terbit 11 edisi saja dalam tiga bulan karena bulan
keempat media tersebut sudah tidak mampu lagi membiayai gaji jurnalis dan biaya
percetakan. Masalah terjadi pada perusahaan yang tidak siap dengan permodalan.
Dan dalam perjalanannya iklan di Tabloid mingguan moderator tidak kunjung
datang atau terpasang.
Namun di sisi lain usaha bisnis
media yang dikelola oleh kelompok konglomerasi semakin menjadi dan tumbuh
besar, suatu contoh gruyp MNC, Media Nusantara Cipta, kini memiliki tiga
stasiun televisi nasional, RCTI, Global TV, MNC TV, jaringan televisi kabel,
juga Koran Seputar Indonesia, dan Jaringan Radio di berbagai daerah di
Indonesia. Belum lagi stasiun televisi lokal yang berjaringan dengan grup ini. Di
media cetak tidak bisa dipungkuri grup Jawa Pos dan Grup Kompas Gramedia menguasai
pangsa pasar terbesar media cetak di Indonesia.
Ini fakta bahwa di Indonesia terjadi
konglomerasi media yang besar-besaran, ilsutrasi lain di media televise juga adalah
munculnya grup PARA, yang memulai
bisnisnya di Media Televisi, Trans
Corporation dengan Trans TV-nya. Namun saat ini telah memiliki TRANS 7,
hasil pembelian dari Grup KOMPAS Gramedia. Terakhir adalah Bakrie grup yang memulai bisnis
media di tanah Lampung, ANTV didirikan di Bandar Lampung pada tanggal 1 Januari
1993. Kini telah memiliki TV One, hasil membeli dari pengusaha Abdul Latif, TV tersebut seblumnya, bernama Lativi mirip nama si empunya terdahulu.
Media yang memiliki grup berbeda seperti
MNC grup juga terjadi di Staisun Televisi Metro TV dan Media Indonesia. Dimiliki
Surya Paloh, yang kini mulai mendirikan organisasi sosial kemasyarakatan
Nasional Demokrat.
Konglomerasi media tidak hanya
terjadi di Indonesia rupanya namun di berbagai belahan bumi di dunia, Bag
Bagnikian, yang dikenal sebagai “salah satu suara paling disegani dalam dunia
jurnalisme dewasa ini,“ mengatakan bahwa perusahaan raksasa sekarang sangat
berorientasi pada profit. Dia mengatakan strategi perusahaan mereka sering kali
mengorbankan mutu isi dan mutu pelayanan untuk menaikan profit. Bagdikian
memberi data yang menyedihkan tentang konglomerasi dalam bukunya yang berjudul The New Media Monopoly.
Dalam buku Teori Komunikasi Massa, John Vivian
2008. Menulis, Rupert Murdoch sebagai Raja Media. Banyak orang benci raja media Rupert Murdoch.
Walaupun News Corp miliknya hanya salah satu dari sekian banyak perusahaan
perusahaan medianya yang mencaplok outlet
media lainnya, nama Murdoch telah menjadi sinonim dengan kekuasaan media. Media
eksekutif CBS Howard Stringer menjulukinya sebagai “pemimpin era komunikasi
Napoleonik baru.” Para pengkritik
mengkalim bahwa penekanannya pada profit korporat telah mengubah landasan
media, dan pesaingnya harus berjuang keras menghadapinya.
Keluarga
Murdoch menguasai 30 persen saham News Corp senilai 12$ miliar pada 2003.
Dinasti Murdoch dimulai dengan Koran Autralia yang didirikan ayah Murdoch, yang
mewariskan bisninya ke putranya, pada 1952. Rupert Murdoch, yang hini berusia
77 tahun, sedang melatih anak-anaknya untuk menggantikan dirinya.
Murdoch mulai mengakuisisi beberapa
Koran Inggris dan kemudian beberapa Koran Amerika. Dia memebeli perusahaan
penerbit buku Harper & Row, yang kemudian dia sesuaikan dengan kepentingan penerbitannya
di Inggris. Agar bisa memiliki stasiun televisi di AS, dia menjadi warga Negara
Amerika Serikat. Karenanya pada 80-an, walau sebelumnya orang tak percaya,
namun kenyataannya dia bisa mendirikan Fox sebagai jaringan televisi AS yag
keempat. Dia lalu meguasai studio film dan televisi 20th Century
Fox. Dia membeli perusahaan induk TV Guide.
Dia mendirikan televisi satelit Sky and Star TV di Inggris dan Asia. Dua
pertiga populasi dunia 3 miliar
orang-menonton siaran StarTV, yang menampilkan program acara yang dibuat atau
dibeli oleh perusahaan Murdoch. Pada 2003 dia menguasai DirecTV, televisi
satelit utama di AS.( Vivian, 2008 : 30).
Ilustrasi di atas, membuat Ben
Bagdikian mengatakan bahwa konglomerasi mempengaruhi diversitas pesan yang
diberikan media massa. Berbicara di Madison Institute, Bagdikian
menggambarkan konglomerasi dalam nada
yang muram : “Mereka berusaha menguasai atau mendominasi pasar bukan hanya
untuk satu medium tetapi semua media. Tujuannya adalah mengontrol semua proses
dari naskah awal atau serial baru sampai ke penggunanya dalam beragam bentuk.
Di Indonesia, seyogyanya tidak terjadi knglomerasi, jika pemerintah tegas dalam
menindak bisnis monopoli media. Dan tegas terhadap pelaku bisnis media. Karena
keberagaman isi siaran atau isi pesan dapat terlaksana dengan baik. Keberagaman
konten dalam media televisi dan radio atau pesan lainnya di media cetak kini yang dibutuhkan
masyarakat tentunya dengan pendekatan kearipan lokal.
Regulasi Penyiaran
Media
di Indonesia yeng berkembang pesat adalah media penyiaran, selain media cetak.
Bisnis media penyiaran televisi dan radio di meriahkan oleh pengusaha besar di
Indonesia yang sangat berpengaruh. Namun berbeda di daerah, televisi lokal kini
bermunculan dan dimiliki bukan oleh pengusaha media besar dari Jakarta, namun
pengusaha lokal bahkan pemerintah daerah. Muhamad Mufid, dalam bukunya
Komunikasi dan Regulasi Penyiaran menuliskan, Setidaknya ada tiga mengapa regulasi penyiaran di pandang urgent. Pertama dalam iklim demokrasi kekinian, salah satu urgensi yang
mendasari penyusunan regulasi penyiaran adalah hak asasi manusia tentang
kebebasan berbicara (freedom of speech),
yang menjamin kebebasan sesorang untuk memperoleh dan menyebarkan pendapatnya
tanpa adanya intervensi, bahkan dari pemerintah. Namun pada saat yang
bersamaan, juga berlaku Undang-undang Telekomunikasi yag membatasi aktivitas
penggunaan spectrum gelombang radio (Leen d’Haenens, 2000:24-26). Nilai
demokrasi karenanya menghendaki kriteria yang jelas dan fair tetag pengaturan
alokasi akses media.
Kedua, demokrasi menghendaki adanya
“sesuatu” yang menjamin keberagaman (diversity)
politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan ide dan posisi dari
kelompoknya minoriotas. Hal ini adalah adanya hak privasi (right to privacy) seseorqang untuk tidak menerima informasi
tertentu. Dalam batas tertentu, kebebasan untuk menyampaikan informasi (freedom of information) memang dibatasi
oleh hak privasi seseorang (right to
privacy). Yang perlu digaris bawahi
dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan Feintuck (1999 : 43), adalah
limitasi keberagaman (diversity)
sendiri seperti kekerasan dan pornografi merupakan hal yang tetap tidak dapat
dieksploitasi atas nama keberagaman. Dalam perkembngannya aspek diversity, lebih banyak diafiliasikan
sebagai aspek politik dan ekonomi dalam konteks ideology suatu bangsa. (Mufid
2007 : 68).
Sumber Bacaan :
Mufid
Muhamad, Komunikasi & Regulasi Penyiaran, Kencana : 2007, Jakarta.
Vivian
John, Teori Komunikasi Massa, Penerjemah Tri Wibowo B.S. Edisi Kedelapan,
Kencana : 2008, Jakarta,
1 komentar:
Nauczylem sie wiele
Posting Komentar