Sabtu, 20 November 2010

Komunikasi Politik



Kontruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. 2004 Granit, Jakarta. Menulis, pada BAB I , Media Massa dan Kontruksi Realitas Politik, oleh Hamad, Ibnu, Sebuah Kearngka Teori. Peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena dua factor yang saling berkaitan. Pertaman dewasa ini politik berada di era mediasi (politic in the age mediation) yakni media massa, sehingga hamper mustahil kehidupan politik dipisahkan dari media massa. Malahan para actor politik senantiasa berusaha menarik perhatian wartawan agar aktivitas politiknya memperoleh liputan dari media massa. (hal 1)

McNair, Brian. Dalam bukunya An Introduction to Ploitical Communication (London, Routledge, 1995), bab 1 hlm. 2-15, mentyatakan bahwa era mediasi tersebut, fungsi media massa dalam komunikasi politik bias menjadi penyampai (transmitter) pesan-pesan politik dari pihjak-pihak luar dirinya ; sekaligus menjadio pengirim (senders) pesan politik yang dibuat (constructed) oleh para wartawannya kepada audiens. Jadi, bagi para actor politik, media massa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada khalayak ; sementara untuk para wartawan media massa adalah untuk memperoduksi pesan-pesan politik, karena peristiwa-peristiwa politik.

Liputan politik juga cenderung lebih rumit ketimbang reportase bidang kehidupoan lainnya. Pada satu pihak, liputan politik memiliki dimensi pembentukan opini mpublik (public opinion), baik yang diharapkan oleh politisi maupaun para wartawan. Pra actor politik menginginkan public ikut terlibat dalam pembicaraan dan tindakan politik melalui tindakan politik melalui pesan politik yang disampaikannya dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini memang memiliki tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhipencapaian-pencapaian politik para actor politik.

Dalam kerangka pembentukan opini public ini, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama, menggunakan symbol-simbol politik (language politic), kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies), Ketiga, melakukan fungsi agenda setting media ( Agenda setting function). Takala melakukan tiga tindakan itu, boleh jadi sebuah media dipengaruhi oleh berbagai factor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentinganm politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu, dan factor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau pemirsa, system politik yang berlaku dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Dengan demikian, boleh jadi peristiwa politik bias menimbulkan opini public yang berbeda-beda tergantung dari cara masing-masing media melaksanakan tiga tindakan tersebut. (hal 2-3).

Politik itu memiliki nilai berita. Yang terakhir ini sejalan dengan pandangan Nimmo, Dan, dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in Amerika. (Santa Monica, California : Goodyear Publishing, 1978). Hlm. 185-187, yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa politik itu selalu laik berita. Nimmo membagi peristiwa politik ke dalam empat jenis : peristiwa rutin, incidental, skandal, dan tanpa disengaja. Keempatnya selalu bias menjadi bahan berita yang menarik. Sebab, sebuah peristiwa rutin bias melibatkan actor politik terkenal sehingga bias dijadikan berita : peristiwa tiba-tiba (incidental) seperti kecelakaan yang menimpa seorang actor politik juga akan menjadi berita. Demikian pula skandal yang dilakukan seorang actor politik merupakan berita hangat. Para wartawan juga sering mendapatkan informsi politik yang tak disengaja, antara lain karena disamarkan oleh actor politik sebagai sumber, yang justru kemudian menjadi berita besar.

Dalam kaitan ini penulis mengikuti pendapat Nimmo, ibid., Bab I hlm. 1-20, yang menjadi titik pandang seluruh bukunya itu. Ia berpendapat tujuan komunikasi politik adalah pembentukan pendapat umum. Dengan meminjam formula Lasswell, “siapa mengatakan apa melalui saluran effects ?) Nimmo menjelaskan hubungan antara komunikasi politik dan opini public. Elemen who (siapa) dalam model itu adalah komunikator politik : says what (mengatakan apa) adalah pesan politik ysng memakai symbol-simbol politik : in which chaneel (saluran) adalah media yangh salah satunya adalah media massa ; two whom (kepada siapa) adalah khalayak atau publik : dan with what effect (akibat apa) adalah dampak dari komunikasi politik berupa opini public. Selanjutnya dampak dari public opini ini adalah mempengharuhi sosialisasi dan partisipasi politik, pemberian suara dan kebijakan pejabat dalam mengambil keputusan.


Di pihak lain, kegitan di bidang media massa dewasa ini termasuk di Indonesia telah menjadi indutri. Dengan masuknya unsure capital, media massa mau tak mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan (revenue) baik dari penjualan maupun dari iklan. Talk terkecuali dalam menyajikan peristiwa politik, karena pengaruh modal ini media massa akan lebih memperhatikan kepuasan khalayak (pelanggan dan pengiklan) sebagian pasar mereka dalam mengkonsumsi berita-berita politik. Padahal, public dalam komunikasi politik khususnya din Indonesia secara umum memiliki keterikatan secara ideologis. (Ideologis laden) dengan partai-partai politik atas dasar agama, nasionalisme, ataupun kerakyatan (sosialisme). Keadaan demikian dengan sangat mudah dapat kita amati terutama pada masa Pemilu, saat setiap warga Negara memperlihatkan orientasi politiknya masing-masing. 



Aspe Komunikasi Politik
Masa Orba
Masa Reformasi (1999)
Komunikator Politik
Didominasi oleh sumber-sumber resmi dari kalangan pejabat pemerintah dan aparat (tentara)
Menyebar ke sumber-sumber dari semua kekuatan politik seperti partai, LSM, dan aktivis.
Pesan Politik
Dari segi isu cenderung seragam. Orientasinya tunggal, menekankan consensus. Bermain dalam bahasa eufimisme. Ada usaha secara sistematis mendelegitimasi kekuatan selain Orde Baru . Di luar orde baru adalah musuh.
Isunya beragam dengan orientasi multiarah memperlihatkan perbedaan. Menggunakan bahasa yang lebih terus terang. Bahkan sering vulgar. Cenderung mendelegitimasi Orba sebagai musuh.
Media
Komunikasi
Politik
Media massa di bawah control penguasa Orba. Dalam liputan kampanye Golkar harus mendapatkan porsi lebih besar.
Media bebas menentukan pilihan politiknya. Pada sebagian Koran terjadi pemihakan (partisan) kepada salah satu kekuatan politik.
Khalayak
Komunikasi
Politik
Massa yang “apotis” kesadaran Ideologis dalam keadaan tertekan.
Massa dan sangat politis. Fanatisme pada salah satu partai dengan kesadaran ideologis yang tinggi.

Efek Komunikasi
Politik
Pemerintah adalah pihak yang harus selalu dianggap benar.
Setiap kelompok politik mendapat apresiasi sesuai kekauatan politiknya.

Dalam bukunya Marketing Politik – Antara Pemahaman dan Realitas, yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, 2008 Jakarta. Firmanzah Ph.D menuliskan Metode Komunikasi Politik, adalah Perubahan dalam masyarakat local ,maupu  global juga memberikan implikasi terhadap cara melaksanakan komunikasi politik. Dengan semakin hilangnya system tertutup, otoriter dan refresif, semakin terbuka pula ruang-ruang kebebasan untuk berekpresi.  Media juga diiming-iming atas konsesi tertentu apabila mau mendukung pihak yang berkuasa. Namun, dengan semakin globalnya jaringan-jaringan kelompok-kelompok masyarakat dunia, perilaku aliansi media massa local untuk menjadi pihak yang objektif dan tidak memihak dapat direduksi semaksimal mungkin. Tekanan global terhadap media massa local untuk menjadi pihak yang objektif dan tidak memihak pastilah sedikit banyak dapat mencegah perilaku kolusif ini. Ketika ditemukan kasus kolusif, hal tersebut akan menjadi komunitas politik bagi oposisi untuk mendeskriditkan partai lawan yang telah melakukan kolusi itu.

Kolusi tersebut akan dapat merusak kredibilitas media massa di mata masyarakat. Bagi media massa, hal yang paling dijaga adalah krdibilitas informasi yang diberitakan. Kalau semua orang menanyakan ke-absahan berita yang ditampilkan, hal ini akan menggangu bisnis media massa itu sendiri. Artinya, kehancuran ada di depan mata. Sekali masyarakat tak percaya padanya, sebuah media massa tidak akan bangkit kembali. Tak ada ampun baginya. Selesai. Hal. 83

Tidak ada komentar: