- Asal-Usul
Kasepuhan Cisungsang
Kampung
Cisungsang terletak persis di tepi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Terlihat tugu dan papan yang berdiri kokoh yang menandakan bahwa kawasan di
Kecamatan Cibeber merupakan kawasan TNGS. Pemandangan sepanjang perjalanan dari
Kota Kecamatan Bayah menuju Cisungsang terlihat
masih asri.
Jarak
dari ibukota Provinsi Banten, kota Serang menuju ke Cisungsang sekitar 250 KM, jalan raya
- jika dari Jakarta sekitar 350 KM.
Walau jauh dan melelahkan, perjalanan akan terasa menyenangkan karena setelah
sampai di wilayah Cikotok kita akan melihat pemandangan yang indah, terlihat
anggunnya Gunung Halimun, yang setiap harinya dihiasi oleh awan tebal, walau
hari cukup cerah di sekitarnya.

Menjelaskan
sejarah Cisungsang, tidak bisa sehari-atau dua hari berada di Kasepuhan
Cisungsang. Namun penulis perlu berhari-hari bahkan bertahun-tahun untuk
memahami Kasepuhan Cisungsang. Apih
Adeng Jayasasmita, menegaskan pada acara Seren Taun Cisungsang 2013, di bulan September. Beliau berbincang
beberapa menit sebelum beranjak membawa bahan-bahan (kemenyan) dalam iring-iringan upacara adat Seren Taun
Cisungsang, “ieu masih katutup, teua acan
tiasa di buka, apih ningalina kitu ” Apih Adeng menjelaskan bahwa, cerita
Kasepuhan Cisungsang belum dapat diungkapkan se-utuhnya, masih tertutup. Beliau
melihat bahwa penelitian di Cisungsang, tidak akan lengkap, karena masih ada
yang belum bisa diungkapkan secara terbuka kepada masyarakat umum. Hal ini
membuat rasa penasaran penulis, karena Apih Adeng merupakan sesepuh yang
merupakan sosok penasehat Kasepuhan Cisungsang, yang dipercaya kepala adat
untuk memimpin upacara adat di Kasepuhan Cisungsang.
Kasepuhan Cisungsang bukanalah padepokan, atau tempat untuk berkumpul atau
juga kerajaan yang membuat dinasti berkembang dan beranak pinak. Namun
Kasepuhan Cisungsang adalah sebuah amanat dari para leluhur yang diturunkan
secara turun-temurun dari silsilah keluarga. Kehidupan masyarakat Cisungsang
kini sudah moderen, hanya di komplek rumah kepala adat saja, yang bangunan
serta alun-alun berdiri kokoh dengan bahan material bangunan terdiri dari bahan
baku yang mayoritas teridir dari kayu, namun juga unsur moderen banyak
digunakan dalam bangunan yang kini berdiri dan digunakan oleh Kepala Adat
beserta keluarga, yaitu Ema isteri Abah dan ke-tiga anaknya.

Mengutip tulisan dari Will Barton & Andrew Black, 2005. Pada,
dasarnya masyarakat modern hanya memiliki sedikit kemiripan dengan apa yang
kita golongkan sebagai masyarakat. Dalam masyarakat feodal, populasi tersebar secara
geografi dan terlepas dari fakta bahwa orang-orang tunduk pada aturan raja dan tuan tanah feodal, hanya ada sedikit
rasa memiliki pada komunitas lebih besar yang akan kita kenali dalam istilah “masyarakat”.[1]
Peran sentral Kepala Adat di Kasepuhan Cisungsang
utamanya adalah dalam hal bercocok tanam dalam pertanian dan pencarian usaha
masyarakat yang tergabung dalam komunitas adat kasepuhan Cisungsang. Pertanian
di Kasepuhan Cisungsang masih menggunakan cara-cara tradisional. Tidak
menggunakan mesin dalam menggarap lahan, namun menggunakan kerbau sebagai alat
untuk membajak, memenaen padi dengan menggunakan pisau kecil.
Johan
Iskandar Menjelaskan, Dalam beberapa kondisi, system pertanian lading tradisional
mempu bertahan secara berkelanjutan. Misalnya, system pertanian yang mamapu
beradaptasi dan terintegrasi dengan kondisi local, mendapat dukungan dari
ekstraksi sumber-sumber nonpertanian, memiliki sekuriti dalam hal akses
terhadap lahan dan sumber daya alam lainnya, serta tidak melampaui daya
dukungnya (Geertz, 1963;Conklin, 1969;Harris, 1969;Rappaport, 1971; Ellen,
1975, 1977;Nations & Night, 1980; Dove, 1983; Berkes et all, 1989). Jika
persyaratan-persyaratan tadi tidak terpenuhi, sistem pertanian ladang berkelanjutan ini secara umum
sulit untuk dipertahankan.[2]
Dalam
Seren Taun Cisungsang, ada istilah Balik Taun Rendangan, dalam perisitwa
ini, kepala adat Kasepuhan Cisungsang, menerima para sesepuh di Kasepuhan
Cisungsang atau di sebut Rendangan.
Dalam pertemuan singat ini, para Rendangan bertatap muka dan, terjadi
komunikasi dua arah antara Abah Usep dengan para Rendangan secara bergiliran.
Segala pengalaman hidup, hasil materi yang didapatkan di ceritakan kepada Abah
Usep, sebagai pupuhu adat. Peristiwa
ini oleh para sesepuh adat di maknakan sebagai proses penyampaina pesan dari
masyarakat di komunitas adat kepada Kepala Adat. Istilahnya adalah Nyarita.[3]
Komplek Kasepuhan Cisungsang
Rumah adat
Kasepuhan Cisungsang berada di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, terletak di
perbukitan – di kaki Gunung Halimun. Rumah kepala adat menghadap ke arah barat.
Dan di depannya terdapat lahan kosong berupa halaman yang disediakan untuk
kepentingan adat, sepeerti acara Seren Taun. Rumaha adat Kasepuhan Cisungsang
memanjang dari arah selatan ke utara.
Rumah adat
Kasepuhan Cisungsang terdiri dari beberapa bagian ruangan yang tersusuan rapi
yang terbaut dari bahan yang alami, yang hamper seluruhnya terdiri dari bahan
kayu yang berada di sekitar Cisungsang. Bahan bangunan seperti tiang rumah adalah kayu kokoh berukuran
besar dari kayu….sedangkan dinding dari anyaman pohon bamboo (awi) yang dianyam
menjadi bilik tanpa di pernis. Lantai menggunakan kayu albasiyah yang di serut
sedangkan atap dengan bahan dari injuk pohon serabut yang rapat.

Selain rumah terdapat
juga Leuit besar yang berdekatan dengan
rumah adat disebut juga leuit si jimat.
Leuit ini tempat penyimpanan padi untuk kepentingan kepala adat di Kasepuhan
Cisungsang. Leuit ini berisikan pare hasil dari pertanian – masyarakat adat
Kasepuhan Cisungsang.
Leuit memeiliki pintu yang berada di atas seperti
jendela untuk penyimpanan padi atau mengeluarkan padi, yang menghadap kea rah
utara. Filosofinya “sasadu kudu ka kidul” jika memohon atau menyampaikan
sesuatu sebaiknya bicara dahulu ke selatan.
Kasepuhan
Cisungsang berada di antara gunung-gunung yang mengintari Sangga Buana, yang di
anataranya Gunung Halimun.
Gunung-gunung yang
terdapat di pegunungan Sangga Buana anatara lain : Gunung Benceut, Gunung
Bongkok, Gunung Kelud, Gunung Jaya Sampurna, Gunung Kamuray, Gunung Suren,
Gunung Bentang Gading, Gunung ngoyod, Gunung Botol, Gunung Kasur, Gunung Palasari, gunung Salak,
Gunung gagak, Gunung .
Masyarakat Kasepuhan
Cisungsang mempercayai dan patuh terhadap aturan adat mengenai istilah gunung
larangan dan gunung Titipan atau disebut juga leweung kolot.
Gunung larangan adalah di mana terdapat mata air
yang keberadaan gunung tersebut tidak boleh di ganggu atau di gunakan untuk di
garap. Gunung larangan terdapat mata air yang tidak boleh di digunakan
lingkungannya oleh masyarakat Incu –
Putu. Alasannya adalah karena merupakan sumber mata air yang nantinya
berguna bagi masyarakat Incu – Putu. Biasanya di sekitar mata air yang
terdapat di gunung Larangan terdapat dua pohon langka, yaitu pohon Leles dan
Pohon Kondang.

Ke dua pohon itu, menjaga kelestarian air. Keberadan pohon leles dan Kondang kini
langka – bahkan di Cisungsang jarang ditemui. Dari
Gunung Larangan yang teradap mata air, mengaliri aliran sungai yang mengalir di sungai Ciburial, Sungai Lebak
Dahu, Sungai Lebak Leles, Sungai Palasari, Sungai Cibentang, Sungai Cimencek,
Sungai Cisakirin.
Gunung Larangan terdapat di wilayah utara, barat dan
timur.
Di wilayah timur terdapat perbukitan yang dilintasi
sungai cibiil, sungai cibanteng, sungai cikadu, sungai cisalak. Di wilayah utara terdapat di sunagi
citempu, sungai cipari, sungai lebak dahu, sungai cibenjang, sungai cimencele,
sungai cibentang, sungai ciseupan.
Di wilayah barat terdapat dua sungai yaitu Cibuha
dan sungai Palasari.
Pewaris tempat Kasepuhan di Banten Selatan
1. Kasepuhan
Cisungsang
2. Kasepuhan
Cipta Gelar
3. Kasepuhan
Cicarucub
4. Kasepuhan
Citorek
5. Kasepuhan
Bayah (Kasepuhan Bayh mandiri, atau berdiri sendiri tidak ada ikatan secara lahiriah
dengan kasepuhan Cisungsang)

Silsilah
Kasepuhan Cisungsang,
Di awali dari
cerita yang disampaikan oleh Apih
Adeng, diawali ketika membuka Kasepuhan Cisungsang Olot Ruman, lalu Olot
Sakrim, dilanjutkan kepada Olot Ipi dan olot Ciing, lalu di pegang oleh Olot
Sardani dari Olot Sardani kepada adiknya yaitu Olot Naedi yang bertahan hanya 5
tahun, melalui wangsit Abah Usep yang sedang menempuh pendidikan SMA di
Rangkas, di daulat menjadi Kepala Adat sejak tahun 1993.
Kasepuhan Cisungsang, lokasinya berpindah-pindah
dari satu lokasi ke lokasi lainnya, di awali di daerah Cipangbeasan.
Pertamakalinya pusat rumah adat yang ditempati kepala adat dan keluarga serta
kerabat dekat berada di Cisuren sekitar Gunung Lebak Lega. Kala itu kepala adat
di pimpin oleh Mbah Sakrim – atau disebut Olot Sakrim yang usianya mencapai 200
tahun.

Kasepuhan Cisungsang menempati rumah adat di
Cipangbeasan selama di pimpin Olot Sakrim. Dala perjalanannya rumaha adat
Kasepuhan Cisungsang berpindah tempat ke Pasir Jingjing yang lokasinya masih di
hutan yang berada di wilayah Cisungsang. DI Pasir Jingjing rumah adat Kasepuhan
Cisungsang di bangun oleh ratusan warga kasepuhan Cisungsang, yang datang dari
berbagai wilayah yang dilintasi sungai Cisungsang. Sebuah keanehan karena begitu
banyaknya yang membantu membersihkan hutan untuk mendirikan rumah adat
Kasepuhan Cisungsang, saat itu.
Dari Pasir Jingjing, Kasepuhan Cisungsang berpindah
ke pasir Koja, perpindahan tempat di awalai dari wangsit yang diterima oleh
kepala Adat, yang saat itu sudah di pimpin oleh Abah Usep Suyatma. Kasepuhan Cisungsang di Pasir Koja, hingga
kini masih tetap berdiri kokoh dan semakin luas.
Tahun 1993 Abah Usep Suyatma mendapatkan wangsit
untuk memindahkan lokasi kasepuhan Adat Cisungsang dari Cipangbeasan. Di Awali
pertemuan para tokoh rendangan dengan Abah Usep, di antaranya APih Adeng. Apih
Adeng Jayasasmita di minta oleh Abah melaksanakan wangsit untuk membawa obor
dan pergi ke hutan. Apih Adeng bercerita, saat itu dirinya di temani Apih Adil
yang hingga kini masih menjabat Dukun Di Kasepuhan Cisungsang. Apih Adeng
langsung menancapkan Obor, ketika obor yang di bawa Apih padam, karena ada yang
hembusan angin yang meniup hingga Obor Mati. Apih Adeng memastikan bahwa lokasi
rumah adat Kasepuhan berada di Lokasi ketika Obor padam. Setelah di tandai
dengan penacapan Obor, Apih Adeng menyebut daerah tersebut dengan nama Pasir
Jingjing.
Tidak berlansung lama, sebuah kajaiban saat itu
ribuan orang warga kasepuhan Cisungsang datang dari pelbagai penjuru. Mereka
membawa peralatan seperti golok, pacul dan peralatan yang di buat oleh Panei,
atau pandai besi, membabat wilayah Hutan Pasir Jingjing untuk dijadikan tempat
rumah Adat Kasepuhan Cisungsang.
Apih Adeng, menegaskan bahwa rumah adat Kasepuhan
Cisungsang selesai di bangun, namun tidak digunakan dalam jangka lama. Dan
sempat tidak digunakan.

Keunikan dan sebiah legenda di Cisungsang dan
dipercayai oleh masyarakat adat adalah cerita tentang sungai yang mengalir di
sekitar Kasepuhan Cisungsang di Cipangbeasan. Sungai Cipangbeasan berasal dari
nama beras, sehingga disebut Cipangbeasan. Menurut cerita Apih Adeng, ketika
seorang petani di waktu sore hari akan pulang ke rumah tidak membawa apa-apa
setelah bekerja seharian, saat musim paceklik tiba, Petani datang ke Sungai
Cipangbeasan , air sungai yang mengalir jernih di siuk atau di ambil untuk di bawa ke rumah dan diserahkan kepada
isteri untuk di masak yang ternyata adalah beras. Cerita ini diakui Apih Adeng
memang hanya terjadi di Cipangbeasan Kasepuhan Cisungsang, dan terjadi ratusan
tahun yang lalu. Karena
dewasa ini lahan pertanian semakin banyak dan di Kasepuhan Cisungsang
masyarakat telah hidup layak dengan lahan pertanian yang ada. Tanah yang subur
menjadikan panen di Kasepuhan Cisungsang dua kali dalam setahun. Dan kini tidak terjadi paceklik.
Bahkan dapat dikatakan
Leuit atau lumbung padi yang terdapat di rumah-rumah penduduk di Kasepuhan
Cisungsang setiap tahunnya masih terisi dan tidak pernah kosong. Karena
keunikan di Kasepuhan Cisungsang semua hasil panen baik Padi atau beras tidak
diperjualbelikan kepada orang lain. Hanya dikonsumsi keluarga saja.
[1] Will Barton & Andrew Black, 2005,
Bersiap Mempelajari Kajian Komunikasi, Jalansutra.
[2]Johan Iskandar, Manusia dan Ekologi, 2001, Humaniora Utama Press
[3] Nyarita,
dalam bahasa Indonesia, adalah menceritakan, menurut Apih Adeng, para Rendangan diperbolehkan menceritakan
hal-hal terpenting saja dalam peristiwa
Balik Taun Rendangan, isi ceritanya berupa
kebahagiaan, tentang melimpahnya hasil panen, niat untuk membuka usaha
perdagangan, dan rencana di tahun
mendatang agar direstui dan diberikan Do’a oleh sang kepala adat.
(Wawancara dengan Apih Adeng Jayasasmita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar