Kontruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. 2004 Granit, Jakarta. Menulis, pada BAB I , Media Massa dan Kontruksi Realitas Politik, oleh Hamad, Ibnu, Sebuah
Kearngka Teori. Peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan
liputan. Hal ini terjadi karena dua factor yang saling berkaitan. Pertaman
dewasa ini politik berada di era mediasi (politic in the age mediation) yakni
media massa, sehingga hamper mustahil kehidupan
politik dipisahkan dari media massa.
Malahan para actor politik senantiasa berusaha menarik perhatian wartawan agar
aktivitas politiknya memperoleh liputan dari media massa. (hal 1)
McNair, Brian. Dalam
bukunya An Introduction to Ploitical Communication (London, Routledge, 1995),
bab 1 hlm. 2-15, mentyatakan bahwa era mediasi tersebut, fungsi media massa dalam komunikasi
politik bias menjadi penyampai (transmitter) pesan-pesan politik dari
pihjak-pihak luar dirinya ; sekaligus menjadio pengirim (senders) pesan politik
yang dibuat (constructed) oleh para wartawannya kepada audiens. Jadi, bagi para
actor politik, media massa dipakai untuk
menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada khalayak ; sementara untuk para
wartawan media massa
adalah untuk memperoduksi pesan-pesan politik, karena peristiwa-peristiwa
politik.
Liputan politik juga cenderung lebih rumit ketimbang
reportase bidang kehidupoan lainnya. Pada satu pihak, liputan politik memiliki
dimensi pembentukan opini mpublik (public opinion), baik yang diharapkan oleh
politisi maupaun para wartawan. Pra actor politik menginginkan public ikut
terlibat dalam pembicaraan dan tindakan politik melalui tindakan politik
melalui pesan politik yang disampaikannya dalam komunikasi politik, aspek
pembentukan opini ini memang memiliki tujuan utama, karena hal ini akan
mempengaruhipencapaian-pencapaian politik para actor politik.
Dalam kerangka pembentukan opini public ini, media massa umumnya melakukan tiga
kegiatan sekaligus. Pertama, menggunakan symbol-simbol politik (language
politic), kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies),
Ketiga, melakukan fungsi agenda setting media ( Agenda setting function).
Takala melakukan tiga tindakan itu, boleh jadi sebuah media dipengaruhi oleh
berbagai factor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu
kekuatan politik, kepentinganm politik para pengelola media, relasi media
dengan sebuah kekuatan politik tertentu, dan factor eksternal seperti tekanan
pasar pembaca atau pemirsa, system politik yang berlaku dan kekuatan-kekuatan
luar lainnya. Dengan demikian, boleh jadi peristiwa politik bias menimbulkan
opini public yang berbeda-beda tergantung dari cara masing-masing media
melaksanakan tiga tindakan tersebut. (hal 2-3).
Politik itu memiliki nilai berita. Yang terakhir ini sejalan
dengan pandangan Nimmo, Dan, dalam bukunya Political Communication and Public
Opinion in Amerika. (Santa Monica, California : Goodyear Publishing, 1978).
Hlm. 185-187, yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa politik itu selalu laik
berita. Nimmo membagi peristiwa politik ke dalam empat jenis : peristiwa rutin,
incidental, skandal, dan tanpa disengaja. Keempatnya selalu bias menjadi bahan
berita yang menarik. Sebab, sebuah peristiwa rutin bias melibatkan actor politik
terkenal sehingga bias dijadikan berita : peristiwa tiba-tiba (incidental)
seperti kecelakaan yang menimpa seorang actor politik juga akan menjadi berita.
Demikian pula skandal yang dilakukan seorang actor politik merupakan berita
hangat. Para wartawan juga sering mendapatkan
informsi politik yang tak disengaja, antara lain karena disamarkan oleh actor
politik sebagai sumber, yang justru kemudian menjadi berita besar.
Dalam kaitan ini penulis mengikuti pendapat Nimmo, ibid.,
Bab I hlm. 1-20, yang menjadi titik pandang seluruh bukunya itu. Ia berpendapat
tujuan komunikasi politik adalah pembentukan pendapat umum. Dengan meminjam
formula Lasswell, “siapa mengatakan apa melalui saluran effects ?) Nimmo
menjelaskan hubungan antara komunikasi politik dan opini public. Elemen who
(siapa) dalam model itu adalah komunikator politik : says what (mengatakan apa)
adalah pesan politik ysng memakai symbol-simbol politik : in which chaneel
(saluran) adalah media yangh salah satunya adalah media massa ; two whom (kepada siapa) adalah
khalayak atau publik : dan with what effect (akibat apa) adalah dampak dari
komunikasi politik berupa opini public. Selanjutnya dampak dari public opini
ini adalah mempengharuhi sosialisasi dan partisipasi politik, pemberian suara
dan kebijakan pejabat dalam mengambil keputusan.
Di pihak lain, kegitan di bidang media massa
dewasa ini termasuk di Indonesia
telah menjadi indutri. Dengan masuknya unsure capital, media massa mau tak mau harus memikirkan pasar demi
memperoleh keuntungan (revenue) baik dari penjualan maupun dari iklan. Talk
terkecuali dalam menyajikan peristiwa politik, karena pengaruh modal ini media massa akan lebih
memperhatikan kepuasan khalayak (pelanggan dan pengiklan) sebagian pasar mereka
dalam mengkonsumsi berita-berita politik. Padahal, public dalam komunikasi
politik khususnya din Indonesia
secara umum memiliki keterikatan secara ideologis. (Ideologis laden) dengan
partai-partai politik atas dasar agama, nasionalisme, ataupun kerakyatan
(sosialisme). Keadaan demikian dengan sangat mudah dapat kita amati terutama
pada masa Pemilu, saat setiap warga Negara memperlihatkan orientasi politiknya
masing-masing.
Aspe Komunikasi Politik
|
Masa Orba
|
Masa Reformasi (1999)
|
Komunikator Politik
|
Didominasi oleh sumber-sumber resmi dari kalangan pejabat
pemerintah dan aparat (tentara)
|
Menyebar ke sumber-sumber dari semua kekuatan politik
seperti partai, LSM, dan aktivis.
|
Pesan Politik
|
Dari segi isu cenderung seragam. Orientasinya tunggal,
menekankan consensus. Bermain dalam bahasa eufimisme. Ada usaha secara sistematis mendelegitimasi
kekuatan selain Orde Baru . Di luar orde baru adalah musuh.
|
Isunya beragam dengan orientasi multiarah memperlihatkan
perbedaan. Menggunakan bahasa yang lebih terus terang. Bahkan sering vulgar.
Cenderung mendelegitimasi Orba sebagai musuh.
|
Media
Komunikasi
Politik
|
Media massa
di bawah control penguasa Orba. Dalam liputan kampanye Golkar harus
mendapatkan porsi lebih besar.
|
Media bebas menentukan pilihan politiknya. Pada sebagian
Koran terjadi pemihakan (partisan) kepada salah satu kekuatan politik.
|
Khalayak
Komunikasi
Politik
|
Massa
yang “apotis” kesadaran Ideologis dalam keadaan tertekan.
|
Massa
dan sangat politis. Fanatisme pada salah satu partai dengan kesadaran
ideologis yang tinggi.
|
Efek Komunikasi
Politik
|
Pemerintah adalah pihak yang harus selalu dianggap benar.
|
Setiap kelompok politik mendapat apresiasi sesuai
kekauatan politiknya.
|
Dalam bukunya Marketing Politik – Antara Pemahaman dan Realitas, yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia,
2008 Jakarta. Firmanzah
Ph.D menuliskan Metode Komunikasi Politik, adalah Perubahan dalam masyarakat local ,maupu global juga memberikan implikasi terhadap
cara melaksanakan komunikasi politik. Dengan semakin hilangnya system tertutup,
otoriter dan refresif, semakin terbuka pula ruang-ruang kebebasan untuk berekpresi. Media juga diiming-iming atas konsesi
tertentu apabila mau mendukung pihak yang berkuasa. Namun, dengan semakin
globalnya jaringan-jaringan kelompok-kelompok masyarakat dunia, perilaku
aliansi media massa
local untuk menjadi pihak yang objektif dan tidak memihak dapat direduksi
semaksimal mungkin. Tekanan global terhadap media massa local untuk menjadi pihak yang objektif
dan tidak memihak pastilah sedikit banyak dapat mencegah perilaku kolusif ini.
Ketika ditemukan kasus kolusif, hal tersebut akan menjadi komunitas politik
bagi oposisi untuk mendeskriditkan partai lawan yang telah melakukan kolusi
itu.
Kolusi tersebut akan dapat merusak kredibilitas media massa di mata masyarakat.
Bagi media massa,
hal yang paling dijaga adalah krdibilitas informasi yang diberitakan. Kalau
semua orang menanyakan ke-absahan berita yang ditampilkan, hal ini akan
menggangu bisnis media massa
itu sendiri. Artinya, kehancuran ada di depan mata. Sekali masyarakat tak
percaya padanya, sebuah media massa
tidak akan bangkit kembali. Tak ada ampun baginya. Selesai. Hal. 83