Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia, Wadah Pengelola TV Komunitas
Oleh : Yoki Yusanto
Anggota ATVKI, salah satu deklarator ATVKI
Deklarasi Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia di Desa Grabag, Magelang Jawa Tengah telah membuahkan sebuah hasil yang ditunggu-tunggu penggiat Televisi Komunitas di berbagai daerah di Indonesia. Rumah bagi televisi komunitas untuk berbagi, mencurahkan isi hati dan menumbuh kembangkan semangat Televisi Komunitas di mulai dalam kongres ke-1 Televisi Komunitas 17 hingga 20 Mei 2008.
Isi dari Deklarasi Grabag 20 Mei 2008, menjelaskan berbagai hal eksistensi Televisi komunitas yang berdasarkan undang-undang diakui keberadaannya. Tidak mudah memang deklarasi itu terjadi begitu saja. Hasil diskusi dan pemikiran dari 28 orang perwakilan dari stasiun televisi komunitas dari berbagai daerah di Indonesia. Juga didukung dari unsur lain seperti lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi , dan lembaga nirlaba lainnya. Tidaklah sederhana penggiat televisi komunitas itu didukung juga deklarator dari berbagai unsur di antaranya Paulus Widiyanto, Mantan ketua Pansus RUU Penyiaran DPR RI, Ahmad Tohari, Budayawan Banyumas, Bimo Nugroho, Komisi Kepenyiaran Indonesia
Gagasan teman-teman dari Kelompok kerja Televisi Komunitas Indonesia yang di motori oleh Budhi Hermanto menjadi sebuah momentum yang menggairahkan bagi insan televisi komunitas. Pada awalnya tidak ada tempat untuk mengadu.
Dalam pemikirannya, di jurnal Komunikasi Program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Budhi menyebutkan bahwa Televisi Komunitas sebagai media yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakatnya menuntut media ini benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat. Televisi Komunitas menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Media komunitas ini hadir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), juga mendorong adanya keberagaman isi (diversity of content) dalam program-program siaran karena melayani komunitasnya yang juga beragam.
Kesepakatan terjadi bahwa Asosiasi Televisi Komunitas Indoensia (ATVKI) adalah wadah untuk masyarakat menggunakan hak-haknya sebagaimana di atur dalam undang-undang penyiaran, nomor 32 tahun 2002 serta peraturan pemerintah nomor 51 tentang Penyelengaraan Penyiaran Komunitas. berdasarkan keinginan untuk berkembangnya stasiun televisi komunitas.
Dalam Visi misi Anggaran Dasar ATVKI, tercurah bahwa Visi ATVKI, menjadikan ATVKI sebagai wadah untuk memperjuangkan hak hidup dan berkembangnya lembaga penyiaran televisi komunitas di Indonesia. Sedangkan Misi ATVKI adalah :
a. Membela dan memperjuangkan hak lembaga penyiaran televisi komunitas untuk mendapatkan, mengolah dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat.
b. Menjadikan televise komunitas sebagai media yang mencerdaskan, memberdayakan dan menjungjung tinggi budaya dan sosial masyarkat.
c. Menguatkan Kapasitas bagi pengelola televisi komunitas di Indonesia.
d. Membangun jaringan kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk mencapai visi dan misi organisasi.
e. Memfasilitasi penyebaran teknologi penyiaran yang terjangkau dan legal.
Stasiun Televisi Komunitas mempunyai hak yang sama sesuai undang-undang penyiaran untuk didirikan di berbagai daerah. bisa saja di pedesaan, perkotaan maupuan lingkungan akademis, seperti sekolah atau kampus. Televisi komunitas sebgai media massa juga berfungsi sebagai kontrol sosial di masyarakat terutama lingkungan di mana jangkauan siaran televisi komunitas itu berada. Televisi komunitas dapat menyiarkan siaran berita. Tentu menyangkut peristiwa-peristiwa yang berkembang di wilayah televisi komunitas itu berada.
Siaran televisi komunitas berbeda dengan tayangan ratusan televisi swasta komersial yang telah mengudara dengan berbagai kepentingan. Televisi komunitas sesuatu yang sederhana tidak memikirkan keuntungan materi maupun keuntungan politik. Televisi komunitas didirikan bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat. Bukan membodohi. Tayangan isi program acara selalu dan ditekankan pada tayangan yang jelas secara nyata bermuatan isi acara yang mendidik masyarakat. Masyarakat di lingkungan sekitar stasiun televisi komunitas menjadi cerdas.
Pemberdayan masyarakat dari sisi sosial dan budaya di lingkungan masyarakat itu sendiri. Sifat konsumerisme masyarakat yang telah sejak lama mendarah daging kembali dinetralisasi dengan program acara yang segar hasil karya kreatif tim produksi sederhana televisi komunitas komunitas. Pengertian sederhana bukanlah asal memproduksi sebuah mata acara, namun penggiat televise komunitas bias disejajarkan dengan creator di stasiun televise swasta lainnya.
Karta cipta dan karsa warga sekeliling komunitas yang dahulu tidak terjamah. Direkontruksi sebagai karya nyata masyarakat komunitas. Program yang lebih lokal dari berbagai macam acara lokal dan lebi spesifik menampilkan tayangan yang mudah difahami tidak jelimet dan mempunyai nilai-nilai sosial kemasyarakat yang membangun semangat dalam diri masyarakat sekitar stasiun televisi itu dipancarkan.
Stasiun televisi komunias bukanlah penamapung hasil karya yang tidak memiliki kualitas dari isi program acara karena dinilai dengan kerja swadaya tanpa ada modal yang besar. Namun itu bukan halangan karena kreativitas yang dibangun adalah tradisi komunitas yang saling membantu kekeluargaan dan membangun jati diri dengan berbagai latihan ketrampilan dan pendalaman literasi. Tim produksi dari segi pemberitaan maupun produk hiburan yang diproduksi hendaknya memiliki ukuran yang jelas dengan kualitas penyiaran televisi pada umumnya. Teknik produksi yang mumpuni yang dimiliki awak televisi komunitas tidaklah hanya memproduksi program yang asal jadi karena keterbatasan. Jalan kelauar adalah dengan cara pelatihan dari berbagai penggiat yang memang memiliki kemampaun lebih dibidang penyiaran.
Seperti kongres yang diikuti di Desa Grabag Magelang, tidak sedikit penggiat televisi Komunitas yang mengikiuti secara intensif berasal dari berbagai unsur yang memiliki kemampuan dibidang perfilman dan penyiaran. Jadi kendala kemampuan teknik bisa di atasi dengan pelatihan khusus bagi penggiat televisi komunitas di berbagai daerah tanpa membutuhkan biaya yang besar.
Begitu pula teknik pemancaran stasiun televisi komunitas yang hinga kini hanya terbatas pada kanal VHF selayaknya regulasi pemerintah memberikan kesempatan untuk setasiun televisi komunitas dapat menggunakan kanal UHF. Melihat bahwa frekuensi adalah milik masyarakat. Dengan pemancaran UHF, maka kualitas pemancaran akan lebih baik secara kualitas audio dan visual tidak kalah dengan stasiun televise lokal maupuan nasional, bukannya bermaksud untuk bersaing. Bahkan Paulus Widiyanto, anggota DPR – RI Mantan ketua Pansus RUU Penyiaran DPR RI yang juga penggodok undang-undang penyiaran berjannji akan mengusahakan agar televisi komunitas diberi alokasi frekuensi yang jelas.
Stasiun televisi yang bebas dari pemilik modal besar dan tentu tanpa ada ambisi pengaruh politik di dalamnya dengan segala kepentingannya. Televisi komunitas dapat meningkatkan kegiatan penyiarannya dengan bekerjasama untuk peningkatan asfek kualitas sumber daya manusia, teknis dan isi program siaran dengan kerjasama dengan lembaga lain di luar penyiaran komunitas.
Pembimbingan asfek peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi stasiun televisi komunitas bisa di dapat dari berbagai ajang kegiatan yang dilakukan lembaga-lembaga yang memang mendukung keberadaan televisi komunitas. Selain itu dukungan dari para ahli di bidang teknik pemancaran yang menyuguhkan paket pemancar serta asfek pendukungnya dengan teknologi canggih namun tidak mahal daris segi biaya.
Stasiun televisi komunitas bukan untuk menjadi pesaing televisi swasta lokal maupun nasional. Namun dengan semangat yang terkandung. Stasiun Televisi Komunitas akan membebaskan diri dari cengkraman pemilik modal bahkan ketergantungan kepada iklan. Staisun televisi komunitas menurut peraturan dan undang-undang terbatas dari segi keterjangkauan wilayah layanan siar. Jangkauan siaran dibatasi tidak melebih 2,5 Km saja. Ini juga menjadi bahan perdebatan jika, lokasi pemancar berada di daerah yang tidak padat penduduk, se-misal di luar jawa. Misalnya, pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Papua.
Kita sambuat dan terus berkarya tanpa kehilangan kreativitas di televisi lokal milik masyarakat kampus, lingkungan warga, bahkan sebuah isntitusi perusahaan. Jangan ragu karena keberlangsungan televisi komunitas diamanatkan undang-undang penyiaran. Berawal dari studi literasi menuju televisi komuniats yang berkualitas. Semoga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar