Selasa, 23 Juni 2015

Komunitas Rumah Dunia Agent Of Change dalam Literasi, Pendidikan Non Formal dan Resistensi Sosial Masyarakat di Ruang Publik

Rumah Dunia adalah lembaga non formal yang bergerak di bidang literasi di Indonesia. Komunitas ini menjadi rujukan berbagai komunitas di Banten bahkan di Indonesia. Komunitas ini didirikan oleh Gola a Gong, penulis Novel yang beranjak dari wartawan lepas di Majalah HAI. Sejak Banten menjadi Provinsi. Rumah Dunia bergelora, tidak hanya Literasi namun bidang politik, sosial kemasyarakat menjadi hal yang tidak terelakan bagi para anggota komunitas. Ruang Publik bagi masyarakat Banten dalam berpikir bebas. Resistensi kerap terjadi jika kebijakan pemerintah daerah Banten tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Rumah Dunia membentuk dirinya sebagai Agent of Change.
-Rumah Dunia Ku Bangun dengan Kata-kata- (Gola a Gong)

I.  Pendahuluan

1.1  Latar Belakang
Dunia literasi di Banten sedikit tercerahkan oleh keberadaan Rumah Dunia. Ada setitik Oase, di padang kering  yang tandus. Penulis mengibaratkan demikian, didasari dengan kenyataan bahwa di Banten Provinsi yang sudah berdiri 17 (tujuh belas) tahun, dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara sosial ekonomi, budaya bahkan politik.  
Bicara Banten, berita terbesar yang terdengar hingga belahan dunia adalah, kemiskinan dan keterbelakangan. Ini sudah tidak bisa dielakan. “Jembatan Indiana Jones” beberapa waktu lalu misalnya, menjadi perbincangan di berbagai belahan dunia. Hinga kini yang masih menjadi sorotan mega korupsi Gubernur Banten, Ratu Atut dan beserta keluarga dan jajaran unsur pemerintah daerah yang melibatkan para pejabat.
Banten se-akan tidak selesai dirudung masalah. Kondisi Sekolah dasar di pelbagai daerah di Kabupaten Lebak, Pandeglang, Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, memprihatinkan. Ini fakta. Permasalahan itu seakan, tidak henti-hentinya merudung daerah pemekaran yang dahulu bergabung dengan Provinsi Jawa Barat ini.
Di lain pihak, Pemerintah Daerah Banten yang berkedudukan di Serang, seakan tidak perduli dengan keadaan sosial, masyarakat bahkan budaya di Banten. Dasar pemikirannya adalah, ketika masyarakat Banten butuh perhatian serius di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sebuah fakta yang tidak bisa dielakan, adalah ketika serombongan pimpinan di dinas kebudayaan Provinsi Banten mengatasnamakan tim kesenian di Banten, berangkat ke Belanda untuk mengikuti pentas kesenian di “Tong-Tong Festival Nederland” bulan Mei 2015, silam. Alih-alih memberdayakan seniman Banten, yang terjadi adalah, para pejabat di dinas kebudayaan menjadi “seniman dadakan”, dengan berkostum menyerupai seniman penari Rampak Bedug. Dan ini di ekspose secara terbuka di akun media sosial salah satu pejabat dinas yang mengikuti acara di Belanda. Sungguh ironis.
Beberapa kasus yang dijelaskan penulis di atas, adalah fakta yang dirangkum dalam diskusi, obrolan warung kopi dan status-status di dinding media sosial yang di curahkan sebagaian aktivis di komunitas Rumah Dunia.
Rumah Dunia respect terhadap permasalahan kebudayaan di Banten. Bahkan tidak hanya itu permasalahan politik dan sosial kemasyarakatan lainnya ikut menjadi perhatian komunitas Rumah Dunia.
Resistensi dilakukan sejak Rumah Dunia beraktivitas dan melembaga, sejak didirikan tahun 2002, sejak Banten lahir menjadi Provinsi. Toto ST radik dan Gola Gong di bantu oleh tokoh-tokoh Banten, seperti Haji Embay Mulya Syarif,  mendirikan Rumah Dunia, tanah sepetak di kampung Ciloang, Serang di jadikan perpustakaan kecil oleh Gola Gong.
Dari situlah muncul kegiatan-kegiatan Literasi, Teater, Diklat Juralistik dan Komunitas Film Indie di Banten. Diskusi-diskusi kecil seiap harinya terjadi disudut-sudut ruangan sempit di Rumah Dunia. Anak-anak se-susia 7 (tujuh) tahun hingga 12 (dua belas) tahun, mendatangi Rumah Dunia sekedar untuk membaca buku dongeng, atau majalah anak-anak bekas yang tersusun rapi di rak-rak buku, milik pribadi Gola Gong.
Kini, Rumah Dunia tetap bertahan dari riuh rendahnya, kehidupan sosial kemasyarakatan di Banten. Tokoh nasional hingga tukang becak bahkan “Jawara Banten” datang ke rumah dunia. Sebut saja, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan, hadir ke Rumah Dunia untuk berdiskusi.
Filosofi yang di emban oleh Rumah Dunia, tidaklah sederhana setelah para pemikir di Rumah Dunia, dalam perjalanannya hingga kini landasan utamanya, ungkapan Toto ST Radik, “Asah Penamu, simpan Golokmu.”
Track Record Rumah Dunia, Rumah Dunia berjuang adalah benar memberikan penyadaran kepada masyarakat. Gerakan-gerakan yang di lakukan Rumah Dunia, hingga kini masih dipercaya oleh Komunitas-komunitas lain, di Banten. Bahkan diakui oleh Rano Karno, Gubernur Banten saat ini. Satu hari saja 40 (empat puluh) komunitas di Banten, tanpa di undang secara resmi bergabung untuk menyampaikan petisi yang diterima langsung oleh Gubenrnur Banten.
Menurut Firman Venayaksa, yang juga Mahasiswa Program Doktor Humaniora – Fakultas Sastra Unpad, Rumah Dunia awalnya bergerak di bidang Linterasi, kini berubah wujud, ada kesadaran sosial seperti gerakan kebudayaan  yang memiliki value-nya lebih besar, dibanding politik. Kebudayaan itu masif dan terus menerus. Itulah akibatnya Rumah Dunia, di hormati orang. Memang awalnya hanya, dari membaca buku di Rumah Dunia. Kebudayaan itu hanya medium, untuk mengantarkan pada Moralitas dan Etika. Firman menjelaskan, Rumah Dunia bukan mencetak seniman, namun mencetak kejujuran, moral dan etika. Pada akhirnya manusia yang datang ke Rumah Dunia berkarakter.
“Ini butuh komitmen besar, yang sederhana, contoh bahwa di sini bukan urusan Materi, Rumah Dunia di sumbang untuk membangun gedung sebesar 2 Milyar. Tidak ada satu rupiah pun, mengalir ke Gola Gong, Toto S Radik atau saya,” tutur Firman yang juga relawan Rumah Dunia, yang pernah menjabat sebagai Presiden Rumah Dunia.
Resistensi kepada pemerintah kerap dilakukan oleh Rumah Dunia, para relawan yang berdiskusi di Rumah Dunia, kerap melakukan perlawanan, karena dirasa perlakuan keadilan dari Pemerintah Daerah di Banten sudah keterlaluan.
Diskusi masalah, sosial, politik bahakn kebudayaan secara masif dilakukan di auditorium Rumah Dunia, yang kini bernama Surosowan, gedung megah yang dibangun oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2013. Para aktivis kerap datang silih berganti, seniman dari seluruh Indonesia silih berganti pentas, pun unsur pemerintah diundang untuk mengisi diskusi yang bebas, untuk membahas persoalan di Banten yang menyangkut sosial, politik maupun kebudayaan.
Menilik sedikit tentang perlawanan di Rumah Dunia, penulis mendialektikan dengan sebuah tulisan karya Sofwan Samandawai, 2001 : viii. Perlawanan yang bisa mereka lakukan agar dapat bertahan dalam himpitan struktur tersebut adalah perlawanan atau resistensi secara terselubung yang sangat simbolis. Perlawanan ini mereka pilih secara sadar karena dalam posisi terselubung itu keamanan mereka terjaga. (Mikung : Bertahan dalam himpitan : kajian masyarakat marjinal di Tasimalaya.
Perbedaaanya Rumah Dunia, melakukan perlawanan dengan pemerintah secara terbuka, namun yang menjadi pemikiran penulis, adalah Rumah Dunianya. Seperti di sebutkan di atas, bahwa Rumah Dunia kian disegani oleh pemerintah sejak Atut Chosiah berkuasa, bahkan hingga kini, Rumah Dunia, ditakuti oleh unsur-unsur pemerintah. Dalam mengritisi permasalahan di Banten, Rumah Dunia kerap hadir paling terdepan. Sebuah contoh suatu saat Gola Gong, becerita, dirinya pada tahun 2004, di tahan di kantor Komando Distrik Militer Serang.  Alasannya adalah Rumah Dunia sebagai motor penggerak penolakan, alih fungsi bangunan cagar budaya, yakni Markas Komando Distrik Militer (MAKODIM) yang berada di pusat kota Serang, Alun-alun Serang. Gola Gong menjadi motor peggerak penolakan terhadap alih fungsi Makodim menjadi Mall. Bangunan cagar budaya yang di pertahankan oleh relawan Rumah Dunia, adalah didasari, bahwa bangunan artistik itu bersejarah, sudah tidak banyak ditemukan di Serang. Gola Gong beranggapan bahwa Bangunan tua, biarlah menjadi Heritage yang memiliki nilai sejarah, dan menjadi kajian penerus para pelajar di Kota Serang.
            Gong bercerita, Perjuangan yang secara masif dan langsung dengan gelar demontrasi, dilakukan setiap ahri di alun-alun Serang, Rumah Dunia mulai dikenal sebagai agen perubahan di Kota Serang yang menyuarakan hati nurani rakyat Serang yang kian kemari, tertindas oleh pelbagai kepentingan Politik yang tidak lagi, bermain secara nalar dan logika yang jernih, melainkan kekuasaan dan kerakusan penguasaan bidang politik dan ekonomi.


1.2 Ruang Publik dan Civil Society di Banten
            Rumah Dunia adalah Ruang Publik, bagi komunitas-komunitas yanga ada di Banten. Orang-orang kreatif di berbagai bidang, baik akademisi maupun pemuda yang bergerak di bidang sosial, masyarakat dan kebudayaan. Di dasari oleh Literasi. Budaya Literasi diagungkan oleh Rumah Dunia, karena diakui oleh Firman Venayaksa, bahwa untuk menggegam dunia salah satu mediumnya adalah membaca buku.
            Rumah Dunia adalah sebuah tempat, berupa perpustakaan, gedung pertemuan, lapangan untuk bermain bulu tangkis, taman, dan gazebo untuk berdiskusi. Sebuah arsistektur yang menarik, bersih dan Indah dipandang. Bangunan megah karya arsitektur moderen yang tidak melupakan sejarah Banten Lama, di mana terdapat bangunan yang menyerupai menara Mesjid Banten lama, berupa Gazebo untuk berdiskusi. Begitupun gedung pertemuan berupa auditorium dinamakan Surosowan sama dengan naman Benteng di kerajaan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten lama.
            Menurut Fransisco Budi Hardiman, Ruang Publik adalah contoh dari telos dalam ruang arsitektur. Sebuah kenyataan bahwa arsitektur tidak mungkin berdiri sendiri dan selalau tergantung pada ide-ide dari disiplin ilmu lain seperti sosial, psikologi, filsafat dan lain-lain. Proxemics adalah sebuah kajian dari disiplin ilmu antropologi yang menjadi penting dalam ranah abstrak seperti kebudayaan dan ranah praktis seperti jarak.
            Uang Publik di Rumah Dunia, ketika datang ke Rumah Dunia, yamh terkonsep, banyak yang tidak siap yah ke luar dari Rumah Dunia. Ruang Publik, sebagai Learning Centre, menampung apapaun gagasan di Rumah Dunia, Rektor UNTIRTA, pertama saat dinegerikan, Almarhum Prof. Yoyo Mulyana, pernah datang dan bahagia melihat kondisi Rumah Dunia. Karena awalnya tidak ada tempat senyaman Rumah Dunia. Untuk orang belajar akan kritis pada berbagai hal. Rumah Dunia, dalam berdiskusi bebas nilai, mau JIL, Syiah, Ahmadiyah, PKI-pun, kalau masih dalam tataran Logika boleh beradu argumen di Rumah Dunia.
            Apapaun permasalahan, Rumah Dunia, menyelesaikan permasalahan dengan Diskusi di Rumah Dunia.  Idiomnya Simpan Golokmu asah Penamu. Karena Rumah Dunia beraggapan Emosi yang berlebihan logika tidak terpakai. Di Rumah Dunia dari awal dijadikan sebagai Learning Centre.
Pelbagai pihak yang berseteru hadir dalam satu forum, menurt Firman Venayaksa “Kita selalau mendatangkan yang pro dan Kontra, terhadap sebuah masalah, di sini adalah Rng Tinju intelektual. Siapapun boleh, hadir, orang-orang partai politik, jika tidak beres kita hajar di forum itu, di sini adalah pertarungan gagasan.” Ungkapnya.
            Pendekatan komunikasi yang terjadi adalah bukan yang komunikasi  satu arah. bukannya gaya radio, atau pidato seperti Bupati menyampaikan pengarahan. Komunikasi yang saling terkoneksi, semua orang boleh mengeluarkan pendapat. Di Rumah Dunia semua ada, dan tidak menjadi sekat, Profesor bicara langsung dengan luusan SD, SMP itu lumrah kalau itu untuk urusan kebaikan. Rumah Dunia, secara formal tidak ada ada AD-ART namun secara Hukum, melebaga di Yayasan Pena Dunia.           
Edwar T. Hall dalam The Silet Language memeparkan bahwa kebudayaan adalah bahasa yang lebih jujur dari pada bahasa lisan. Manusia, tanpa terkecuali ras dan etnik mana pun, hidup dan dibesarkan dalam tradisi kebudayaan tertentu. Tradisi kebudayaan ini yang kemudian membentuk struktur dasar berpikir dan kebiasaan dalam bertingkah laku manusia tersebut. Hall berpendapat  hal ini dengan jelas mewujud pada cara tiap manusia memakai dan berinteraksi dalam ruang. Realasi antar budaya, kebiasaan, dan ruang ini menyebabkan terjadinya perbedaan makna pada ruang bagi tiap orang walaupun berada di tempat yang sama. Perbedaan ini juga sampai pada cara orang mengalami sesuatu termasuk mengalami ruang. Menurutnya lagi, pengalaman seseorang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimilikinya.
            Hal lain, yang penting dalam merupa Ruang Publik dalam arsitektur adalah Tactility,  Informasi apa pun yang tertangkap oleh kelima indera mempengaruhi perasaan dan pengalaman kita terhadap nilai kepublikan sebuah ruang. (Hardiman, 321-322)
            Publik bagi Kant – dan ini juga mencrminkan pengertian orang-orang sezaman Kant – tidak lain daripada para aktor public use of reason. Dalam konsep ini diacu bukan hanya kebebasan berpikir, melainkan juga keberanian untuk mengungkapkan secara publik.
            Kan menulis sebagai berikut :
“saya memahami pemakain rasio secara publik sebagai pemakian rasio yang dilakukan oleh seseorang sebagai seorang terpelajar di depan seluruh publik dunia bacaan. Saya menyebut pemakaian rasio secara privat bila seseorang boleh menggunakan rasionya dalam posisi atau jabatan sipilnya yang ia pegang.”
Penjelasan Kant, itu memiliki konsekuensi yang menarik karena membalikan seluruh pengertian tentang ‘publik’ yang selama berabad-abad mendominasi Eropa. Publik bukan lagi para pejabat atau institusi politis, melainkan masyarakat warga (civil society) yang kritis dan berorientasi pada kepentingan moral universal umat manusia. Jadi, pernyataan-pernyataan seorang cendekiawan, sastrawan atau publik, sehingga kebebasan dan kemajemukan dimungkinkan. Kedua, istilah ruang publik memiliki arti normatif, yakni mengacu pada peranan masyarakat warga dalam demokrasi. Boleh dikatakan konsep kepublikan, masyarakat warga, dan ruang publik yang saling terkait dalam sebagian besar tulisan dalam buku ini mempersoalkan arti normatif ruang publik itu. Ruang publik dalam arti normatif itu  - yang disebut “ruang publik politis” – adalah suatu ruang komunikasi para warganegara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan.
Pengertian ruang publik sebagai lingkup spasial (sphere) yang menjadi locus partisipasi warganegara dalam public use of reason itu berasal dari buku Hannah Arendt, The Human Condition dan buku Jurgen Habermas Strukturwandel der Offentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik). (Hardiman, 2010 : 11)
Untuk masyarakat kita pengertian Ruang Publik sebagai arena komunikasi itu bukan barang asing, karena dalam sejarah kebangkitan nasional yang dirintis Boedi Oetomo, kita juga dapat menemukan berbagai asosiasi warga yang telah berhasil membangun solidaritas nasional yang melampaui suku-suku bangsa dan agama-agama di Nusantara. Suarat-surat kabar, Pos, forum-forum – semua media ini membangun opini umum yang pada gilirannya ikut mendorong solidaritas sebagai suatu bangsa. (Hardiman 2010 : 12)
            Penulis sengaja, menganalisis dengan sebuah tulisan dalam Jurnal, untuk mengkaji keberadaan komunitas Rumah Dunia. Komfirmasi tentang Civil Society  untuk menggambarkan bahwa gerakan sosial berupa penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang salah di awali dengan gerakan masyarakat sosial yakni Civil Society. Dalam Junal Analisis Sosial, berjudul Gerakan Good Governance “Untuk Indonesia” Oleh Cahyo Suryanto, Vol. 7 No.2 Juni 2002 : 13-38 Dijelaskan bahwa Dalam bahasa Indonesia istilah Civel Society Sasson dan Anne Showstack (1983) mengartikan Civil Society sebagai realita individual yang meninggalkan ikatan keluarga dan memasuki persaingan ekonomi yang dikontraskan dengan negara (state) atau disebut sebagai negara (state) atau disebut sebagai masyarakat politik. Demikian pula Hikam (1996) mengertikan Civil Society sebagai kenyataan dari kehidupan sosial yang terorganisasi yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan terbebas dari tekanan negara, yang terikat hukum yang berlaku. Dengan demikian, pandangan ini pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara. Dalam hal ini memegang dapat terjadi suatu situasi hegemoni yang dilawan dengan counter hegemony, namun tidakberarti state dan society harus selalu bertentangan. Kelompok ini memberi istilah baru sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Kemudian Civil Society  ini mengandung konotasi adanya masyarakat yang beradab (Civillized Society) yang lebih menganut aturan-aturan yang berkaitan dengan sistem hukum daripada aturan yang berkaitan dengan sistem hukum daripada aturan yang bersifat otoriter yang menindas. Dengan demikian, pandangan ini menganggap civil society sebagai suatu gerakan rakyat untuk membebaskan diri dari hegemoni negara.
1.3 Rumah Dunia sebagai Agent Of Change
            Rumah Dunia sebagai Agent Of Change dapat dilihat dari keberhasilan perjuangan.  Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat selalu sejumlah orang yang mempelopori. Rumah Dunia adalah salah satu yang menjadi penggerak dalam pelbagai hal. Terutama penyadaran. Menurut Soerjono Soekanto menyatakan, pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan (Soekanto, 1992 : 273)
            Gerakan kebudayaan lebih besar, sifatnya masif dan terus tdak berhenti di satu titik, dan itu menjadi Rumah Dunia semakin disegani. Literasi bagain kecil, dan budaya itu hanya medium untuk memahami kebersahajaan, di Rumah Dunia mencetak moralitas, mereka menjadi pejabat, PNS, relawan Rumah Dunia seolah dipagari oleh moralitas dan karakter, karena butuh komitmen besar untuk mempertahankannya.
            Dalam perjalanannya, Rumah Dunia yang terlalu frontal, dirasakan banyak “musuh”. Itu yang membuat jengkel relawan Rumah Dunia. Banyak pihak, musuh-musuh Rumah Dunia. Ketika membuat gerakan, pasti banyak orang yang tidak suka, justeru bukan dari Pemerintah, namun lembaga lain, seperti Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Menurut Firman Venayaksa, setiap gerakan pasti ada konsekuensi. Namun hingga kini masih segar, tidak ada masalah para relawan di Rumah Dunia.
            Rumah Dunia adalah beriskan orang-orang modern, karena para relawan beranggapan, Moderinisasi, bukan orang yang menerapkan sesuatu yang lokal dalam berpikr. “Kita banyak membaca buku, banyak menyerap dari dunia luar. Kita tahu karena membaca buku. Mereka di luar juga membaca, tapi mereka tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial.” Menurut Firman.
Dibandingkan di daerah lain, banyak lembaga resmi seperti Rumah Dunia.  Seperti di Yogya maupun di Bandung, dan itu biasa saja, karena Rumah Dunia ada di Banten, jadi memang luar biasa. Rumah Dunia tidak serta merta melupkan sejarah, mereka belajar dari Sultan Ageng Tirtayasa. “Kita baca kita kaji sejarah sejarah Banten, Kita belajar dari, Kitab yang ditulis Syeh Al Bantani,” tutur Firman.
           
            Dalam rumusan Havelock (1973), agen perubahan adalah orang yang membantu terlaksananya prubahan sosial atau suatu inovasi berencana (Nasution, 1990 : 37) Pengenalan dan kemduaian penerapan hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide baru tersebut yang dikenal dengan sebagai inovasi, dilakukan dengan harapan agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kemajuan. Agen perubahan juga selalu menanamkan sikap optimis demi terciptanya perubahan yang diharapkan tadi. Segala sesuatu tidak akan dengan mudahnya dirubah tanpa adanya sikap optimis dan kepercayaan terhadap diri sendiri bahwa dapat melakukan perubahan tersebut.
            Agen perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agen perubahan langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan unuk mengadakan prubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (Social Engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (Social Planning) (Soekanto, 1992 : 273).
1.4 Kesimpulan
            Ruang Publik di mana masyarakat memiliki peranan dalam kehidupan sosial masyarakat, memiliki hak yang sama dalam berpendapat dan menyatakan kebanaran. Dalam ruang lingkup sosial masyarakat, Rumah Dunia adalah sebuah komunitas yang di dalamnya terjadi dialektika untuk pemecahan masalah sosial. Agen Perubahan untuk menuju masyarakat yang lebih beradab. Gerakan sosial di Rumah Dunia adalah gerakan murni para pemikir yang menggunkan logika dalam perjuangannya di Banten.

Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi, Ruang Publik, 2010, STF Driyarkara – Kanisius, Yogyakarta.
Samandawai, Sofwan. 2001, Bibliografi Yayasan AKAGITA, Bandung
Soekanto, Soerjono, 2003. Sosiologi Sutau Pengantar, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta
Jurnal
Junal Analisis Sosial, berjudul Gerakan Good Governance “Untuk Indonesia” Oleh Cahyo Suryanto, Vol. 7 No.2 Juni 2002