Senin, 03 Januari 2011

Konglomerasi Media, Regulasi di Indonesia



Kebijakan Sistem Komunikasi di Indonesia, Regulasi dan Implementasi
Konglomerasi Media, Regulasi di Indonesia

                Konglomerasi Media di Indonesia sudah tidak bisa dipungkuri lagi, secara nyata bos-bos di dunia usaha menguasai industri media, yang merupakan industri baru di Indonesia. Terjadi sangat cepat perkembangan bisnis media ini sehingga sudah tidak mudah lagi dikontrol lagi dalam percaturan persaingannya. Tidak hanya terjadi persaingan bisnis dalam negeri namun juga jaringan bisnis media internasional yang mulai memasuki wilayah media nasional.
            Sejak terjadinya Reformasi  1998, terjadi euphoria besar-besaran dalam bisnis media massa, baik cetak maupun elektronik.    Namun hal ini berdampak buruk, pada perkembangan media di Indonesia. Media hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan sesaat. Media baru bermunculan dari yang sangat kecil dalam segi perusahaan maupun redaksi, menengah hingga besar. Namun faktanya banyak yang berguguran, sebelum berkembang. Data Dewan pers tahun 2006 yang menyebutkan bahwa dari  851 media  yang terbit di Indonesia, terdiri dari 284 surat kabar harian,  327 surat kabar mingguan,  237 majalah, 3 buletin, hanya sekitar 30% yang sehat. 1
            Bisnis media cetak dikelola secara tidak professional. Bahkan bisa dikatakan bahwa industri media bejalan tidak sehat. Dengan banyakanya media yang gulung tikar. Dalam hal ini terbit hanya beberapa edisi saja, seperti tabloid mingguan misalnya. Tahun 2001, sebuah ilustrasi kongrit. Penulis pernah bekerja di media baru di yang bernama Moderator, media tersebut berkantor di Jakarta Utara, tepatnya di Jalan Siaga – Tanjung Priok. Ironis sekali, karena hanya terbit 11 edisi saja dalam tiga bulan karena bulan keempat media tersebut sudah tidak mampu lagi membiayai gaji jurnalis dan biaya percetakan. Masalah terjadi pada perusahaan yang tidak siap dengan permodalan. Dan dalam perjalanannya iklan di Tabloid mingguan moderator tidak kunjung datang atau terpasang.
            Namun di sisi lain usaha bisnis media yang dikelola oleh kelompok konglomerasi semakin menjadi dan tumbuh besar, suatu contoh gruyp MNC, Media Nusantara Cipta, kini memiliki tiga stasiun televisi nasional, RCTI, Global TV, MNC TV, jaringan televisi kabel, juga Koran Seputar Indonesia, dan Jaringan Radio di berbagai daerah di Indonesia. Belum lagi stasiun televisi lokal yang berjaringan dengan grup ini. Di media cetak tidak bisa dipungkuri grup Jawa Pos dan Grup Kompas Gramedia menguasai pangsa pasar terbesar media cetak di Indonesia.
            Ini fakta bahwa di Indonesia terjadi konglomerasi media yang besar-besaran, ilsutrasi lain di media televise juga adalah munculnya grup PARA, yang memulai bisnisnya di Media Televisi, Trans Corporation dengan Trans TV-nya. Namun saat ini telah memiliki TRANS 7, hasil pembelian dari Grup KOMPAS Gramedia.  Terakhir adalah Bakrie grup yang memulai bisnis media di tanah Lampung, ANTV didirikan di Bandar Lampung pada tanggal 1 Januari 1993. Kini telah memiliki TV One, hasil membeli dari pengusaha Abdul Latif, TV tersebut seblumnya, bernama Lativi mirip nama si empunya terdahulu.
            Media yang memiliki grup berbeda seperti MNC grup juga terjadi di Staisun Televisi Metro TV dan Media Indonesia. Dimiliki Surya Paloh, yang kini mulai mendirikan organisasi sosial kemasyarakatan Nasional Demokrat.
            Konglomerasi media tidak hanya terjadi di Indonesia rupanya namun di berbagai belahan bumi di dunia, Bag Bagnikian, yang dikenal sebagai “salah satu suara paling disegani dalam dunia jurnalisme dewasa ini,“ mengatakan bahwa perusahaan raksasa sekarang sangat berorientasi pada profit. Dia mengatakan strategi perusahaan mereka sering kali mengorbankan mutu isi dan mutu pelayanan untuk menaikan profit. Bagdikian memberi data yang menyedihkan tentang konglomerasi dalam bukunya yang berjudul The New Media Monopoly.
             Dalam buku Teori Komunikasi Massa, John Vivian 2008. Menulis, Rupert Murdoch sebagai Raja Media.  Banyak orang benci raja media Rupert Murdoch. Walaupun News Corp miliknya hanya salah satu dari sekian banyak perusahaan perusahaan medianya yang mencaplok outlet media lainnya, nama Murdoch telah menjadi sinonim dengan kekuasaan media. Media eksekutif CBS Howard Stringer menjulukinya sebagai “pemimpin era komunikasi Napoleonik baru.”  Para pengkritik mengkalim bahwa penekanannya pada profit korporat telah mengubah landasan media, dan pesaingnya harus berjuang keras menghadapinya.
Keluarga Murdoch menguasai 30 persen saham News Corp senilai 12$ miliar pada 2003. Dinasti Murdoch dimulai dengan Koran Autralia yang didirikan ayah Murdoch, yang mewariskan bisninya ke putranya, pada 1952. Rupert Murdoch, yang hini berusia 77 tahun, sedang melatih anak-anaknya untuk menggantikan dirinya.
            Murdoch mulai mengakuisisi beberapa Koran Inggris dan kemudian beberapa Koran Amerika. Dia memebeli perusahaan penerbit buku Harper & Row, yang kemudian dia sesuaikan dengan kepentingan penerbitannya di Inggris. Agar bisa memiliki stasiun televisi di AS, dia menjadi warga Negara Amerika Serikat. Karenanya pada 80-an, walau sebelumnya orang tak percaya, namun kenyataannya dia bisa mendirikan Fox sebagai jaringan televisi AS yag keempat. Dia lalu meguasai studio film dan televisi 20th Century Fox. Dia membeli perusahaan induk TV Guide. Dia mendirikan televisi satelit Sky and Star TV di Inggris dan Asia. Dua pertiga populasi dunia  3 miliar orang-menonton siaran StarTV, yang menampilkan program acara yang dibuat atau dibeli oleh perusahaan Murdoch. Pada 2003 dia menguasai DirecTV, televisi satelit utama di AS.( Vivian, 2008 : 30).
            Ilustrasi di atas, membuat Ben Bagdikian mengatakan bahwa konglomerasi mempengaruhi diversitas pesan yang diberikan media massa. Berbicara di Madison Institute, Bagdikian menggambarkan  konglomerasi dalam nada yang muram : “Mereka berusaha menguasai atau mendominasi pasar bukan hanya untuk satu medium tetapi semua media. Tujuannya adalah mengontrol semua proses dari naskah awal atau serial baru sampai ke penggunanya dalam beragam bentuk.   
            Di Indonesia, seyogyanya tidak  terjadi knglomerasi, jika pemerintah tegas dalam menindak bisnis monopoli media. Dan tegas terhadap pelaku bisnis media. Karena keberagaman isi siaran atau isi pesan dapat terlaksana dengan baik. Keberagaman konten dalam media televisi dan radio atau pesan lainnya  di media cetak kini yang dibutuhkan masyarakat tentunya dengan pendekatan kearipan lokal.

Regulasi Penyiaran
Media di Indonesia yeng berkembang pesat adalah media penyiaran, selain media cetak. Bisnis media penyiaran televisi dan radio di meriahkan oleh pengusaha besar di Indonesia yang sangat berpengaruh. Namun berbeda di daerah, televisi lokal kini bermunculan dan dimiliki bukan oleh pengusaha media besar dari Jakarta, namun pengusaha lokal bahkan pemerintah daerah. Muhamad Mufid, dalam bukunya Komunikasi dan Regulasi Penyiaran menuliskan, Setidaknya ada tiga  mengapa regulasi penyiaran di pandang urgent. Pertama dalam iklim demokrasi kekinian, salah satu urgensi yang mendasari penyusunan regulasi penyiaran adalah hak asasi manusia tentang kebebasan berbicara (freedom of speech), yang menjamin kebebasan sesorang untuk memperoleh dan menyebarkan pendapatnya tanpa adanya intervensi, bahkan dari pemerintah. Namun pada saat yang bersamaan, juga berlaku Undang-undang Telekomunikasi yag membatasi aktivitas penggunaan spectrum gelombang radio (Leen d’Haenens, 2000:24-26). Nilai demokrasi karenanya menghendaki kriteria yang jelas dan fair tetag pengaturan alokasi akses media.
            Kedua, demokrasi menghendaki adanya “sesuatu” yang menjamin keberagaman (diversity) politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan ide dan posisi dari kelompoknya minoriotas. Hal ini adalah adanya hak privasi (right to privacy) seseorqang untuk tidak menerima informasi tertentu. Dalam batas tertentu, kebebasan untuk menyampaikan informasi (freedom of information) memang dibatasi oleh hak privasi seseorang (right to privacy). Yang perlu digaris bawahi  dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan Feintuck (1999 : 43), adalah limitasi keberagaman (diversity) sendiri seperti kekerasan dan pornografi merupakan hal yang tetap tidak dapat dieksploitasi atas nama keberagaman. Dalam perkembngannya aspek diversity, lebih banyak diafiliasikan sebagai aspek politik dan ekonomi dalam konteks ideology suatu bangsa. (Mufid 2007 : 68).

Sumber Bacaan :
Mufid Muhamad, Komunikasi & Regulasi Penyiaran, Kencana : 2007, Jakarta.
Vivian John, Teori Komunikasi Massa, Penerjemah Tri Wibowo B.S. Edisi Kedelapan, Kencana : 2008, Jakarta,